
Contact Person : 081241252122
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar
----------------------------Bulukumba Panrita Lopi-------------------------
Video Nautika Perikanan Laut Angkatan II (DUA) SMKN 1 BULUKUMBA
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sistem irigasi di Indonesia merupakan bagian dari sistem kehidupan sosial masyarakat yang cukup tua keberadaannya. Dari sisi kesejarahan, sistem irigasi di Indonesia sudah ada sejak zaman kerajaan sebelum penjajahan Belanda datang. Sehingga ketika ada pihak-pihak yang membicarakan kebijakan sistem irigasi, siapapun pihak tersebut, perlu selalu berpijak pada realitas sistem irigasi yang telah ada.
Oleh karenanya sebagai bagian dari suatu sistem sosial, sistem irigasi merupakan suatu realitas dari gabungan dari berbagai aspek pengetahuan dan kewenangan. Sistem irigasi tidak dapat hanya ditentukan hanya oleh faktor phisik atau artefak (keberadaan air dan lahan) saja. Begitu pula sistem irigasi tidak cukup hanya ditentukan oleh faktor kelembagaan saja. Atau pada sisi lain, sistem irigasi tidak dapat hanya ditentukan oleh faktor teknik pengaturan air atau bercocok tanam semata. Sistem irigasi merupakan aspek untuk mendukung hidup masyarakat yang memilih komoditi beras sebagai bahan makanan pokok untuk kehidupan mereka sehari-hari. Oleh karenanya dalam diri sistem irigasi selalu terdapat gabungan dari berbagai faktor, yaitu faktor phisik (artefak), faktor sosial masyarakat, dan faktor teknologi pengaturan air dan cocok tanam. Yang pada akhirnya faktor-faktor tersebut sangat dipengaruhi oleh kapasitas masyarakat setempat, selaku subyek pengguna dan pengelola, dalam memperlakukan sistem irigasi yang ada.
Dengan pemahaman tersebut maka akan dapat memandu kita untuk membangun pemahaman, bahwa upaya untuk meningkatkan efektivitaspembangunan dan pengelolaan sistem irgasi harus berbasis pada berbagai faktor di ats. Begitu juga dalam membahas pembagian peran ( role sharing ) dalam pembangunan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif, semua pihak perlu membangun kesepahaman bersama, bahwa pembagian peran tersebut perlu selalu diarahkan dan bermuara pada upaya peningkatan kapasitas masyarakat dalam bentuk pemberdayaan masyarakat.
Dalam UU No. 7/2004 tentang Sumberdaya Air, dalam Bab II mulai pasal 13 sampai dengan pasal 19 telah mengatur wewenang dan tanggung jawab dari pemerintah, pemerintah daerah, dan pemerintah desa.
Sedangkan dalam hal pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi irigasi, secara khusus pada UU tersebut diatur dalam pasal 41, ayat (2), yang di penjelasan diuraikan bahwa daerah irigasi dengan luas kurang dari 1000 hektar,dan ada dalam satu wilayah kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah kabupaten/kota; daerah irigasi dengan luas areal 1000 – 3000 hektar atau daerah irigasi dengan luas areal kurang dari 1000 hektar dan lintas wilayah kabupaten/kota menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah provinsi; dan daerah irigasi dangan luas areal lebih dari 3000 hektar, atau daerah irigasi yang lintas provinsi, dan daerah irigasi strategis nasional serta lintas negara menjadi kewenangan dan tanggung jawab pemerintah. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah No. 20/2006 tentang Irigasi dalam pasal 4, ayat (2), menyebutkan bahwa ”pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi diselenggarakan secara partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan, akuntabel, dan berkeadilan.
Beberapa regulasi yang disebutkan di atas merupakan acuan dasar, sehingga pemerintah mengembangkan program keirigasian yang disebut ” Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif/PPSIP”. Akan tetapi dari Laporan Kajian Pembangian Urusan dalam PPSIP dari BAPPENAS (Anonymous, 2007) dan Lembaran Kesepakatan Rapat Pembagian Peran pelaksanaan program PPSIP, tanggal 21 Juni
2006, tampak tersurat bahwa pembagian peran yang diatur hanya antar instansi pemerintah yang terlibat dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi. Sedangkan peran bagi masyarakat petani sama sekali tidak disebutkan. Ironisnya kebijakan keirigasian sesuai PP No. 20/2006 justru disebut sebagai aktivitas Pembangunan dan Pengelolaan Sistem Irigasi Partisipatif.
I.2 Tujuan
a. Agar dapat mengetahui Irigasi pada Bidang pertanian
b. Agar dapat memberikan wawasan kepada para pembaca tentang pengembangan dan pengelolaan irigasi khususnya bagi para petani.
II. PEMBAHASAN
2.1 Definisi Sapta Usaha Tani
Sapta Usaha Tani adalah kiat-kiat/cara-cara yang digunakan oleh petani pada tanaman padi untuk mendapatkan hasil panen yang berkualitas dan baik.
Pada akhir-akhir ini pemerintah sering sekali mengambil tindakan untuk mengimport beras dari luar negeri. Itu semua dikarenakan hasil panen yang kurang baik dari petani lokal. Dan itu semua membuat para petani lokal menjadi kalah bersaing, dan mau tidak mau para petani lokal harus menjual hasil panen mereka dengan harga yang lebih murah agar tidak kalah bersaing dengan beras import. Oleh karena itu agar dapat memperoleh hasil panen yang baik dan bermutu tinggi dan supaya tidak kalah bersaing dengan beras import, para petani melakukan suatu kiat-kiat yang sering kita sebut sebagai sapta usaha tani, yang terdiri dari :
A. Pemilihan Bibit Unggul
B. Pengolahan Tanah secara baik
C. Pemupukan yang tepat
D. Pengairan (Irigasi) yang baik
E. Pemberentasan Hama
F. Pasca panen
G. Pemasaran yang baik
Dan berikut ini adalah cara-cara untuk melaksanakan tahapan-tahapan dari hal-hal tersebut :
2.2 Pengolahan tanah secara baik
Proses kedua yang dilakukan pada sapta usaha tani adalah pengolahan tanah secara baik. Mengolah tanah bertujuan agar tanah yang ditanami dapat menumbuhkan tanaman secara baik dan membuahkan hasil yang berlimpah. Sebagai masyarakat agraris, bangsa Indonesia sejak zaman dahulu telah mengenal cara-cara mengolah tanah agar mendapatkan hasil pertanian untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Beberpa alat sederhana yang dulu digunakan diantaranya : cangkul, garu, garu tangan, bajak, landak, dan lain sebagainya.
Makin maju peradaban manusia, makin canggih pula alat alat-alat dan teknik yang digunakan untuk mengolah lahan pertanian. Pada zaman yang makin maju dewasa ini, pemakaian cangkul dan bajak sebagai alat untuk membalik tanah agar tanah menjadi gembur telah diganti dengan pemakaian traktor. Dengan demikian bercocok tanam di sawah lebih ringan, cepat, mudah dan hasilnya lebih sempurna. Namun, traktor juga mempunyai dampak negatif pada tanah yang dibajak, diantaranya : bajak yang terdapat pada traktor tidak dapat membalik tanah dengan sempurna dan bahan bakar minyak yang digunakan pada traktor dapat menyebabkan pencemaran lingkungan.
2.3 Kriteria tanah yang baik
Dikarenakan hasil panen juga dipengaruhi oleh kondisi tanah maka kita harus memilih tanah yang baik. Berikut ini adalah syarat-syarat tanah yang baik adalah :
1. Memilik cukup rongga udara, gembur, dan tidak padat;
2. Mengandung banyak unsur organik;
3. banyak mengandung mineral dan unsur hara;
4. Mampu menahan air;
5. Memiliki kadar asam dan basa tertentu.
2.4 Pengairan (Irigasi) Yang Baik
Tahap keempat dalam sapta usaha tani adalah pangairan.Untuk meningkatkan produksi perlu diatur sistem irigasi atau pengairan yang baik karena air merupakan kebutuhan vital bagi tanaman.
Selain membantu pertumbuhan tanaman secara langsung, air bagi lahan petanian juga berfungsi membantu mengurangi atau menambah kesamaan tanah. Air membantu pelarutan garam-garam mineral yang sangat diperlukam oleh tumbuhan. Akar tumbuhan menyerap garam-garam mineral dari dalam tanah dalam bentuk larutan.
Pemberian air atau pengairan pada tumbuhan padi tidak boleh terlalu banyak maupun terlalu sedikit. Jika air yang diberikan terlalu banyak akan mengakibatkan pupuk atau zat makanan disekitar tanaman akan hilang terbawa oleh air. Sebaliknya, jika terlalu sedikit tumbuhan akan mati karena tidak mendapatkan air.
2.5 Pemberdayaan Masyarakat Dalam PPSIP
Upaya untuk membangun kesepakatan dalam pembagian peran.urusan antar berbagai instansi pemerintah dalam pelaksanaan PPSIP merupakan upaya yang baik sebagai salah satu upaya dalam mengembangkan kerja yang koordinatif dalam pengembangan dan pengelolaan irigasi. Pendekatan ini dapat dijadikan terobosan dalam mengatasi kelemahan dalam koordeinasi di tingkat pemerintah yang selama ini sering menjadi penyebab kegagalan suatu program atau proyek pemerintah.
Akan tetapi upaya ini perlu dijadikan momentum bagi semua pihak yang terkait dalam pembahasan ”role sharing” pelaksanaan PPSIP, bahwa dalam membagi peran dan urusan keirigasian tidak hanya menjadi urusan pemerintah dan pemerintah daerah. Akan tetapi organisasi petani secara legal dan secara faktual herus diberi peran/urusan sesuai dengan tingkat kemampuanya. Oleh karena itu pemerintah perlu menempatkan ”pemberdayaan masyarakat” sebagai paradigma pendekatan pembangunan dalam pelaksanaan PPSIP. Apalagi program keirigasian ini juga menggunakan tema ”partisipatitif”, sehingga sangat wajar jika setiap tahap pelaksanaan kegiatan pemerintah mampu memberi ruang partisipasi organisasi petani.
Salah satu usaha yang terkait dengan pembahasan pembagian urusan ini yaitu menempatkan organisasi petani yang mempunyai peran dan urusan yang dalam implementasinya juga didukung oleh pembiayaan dari pemerintah, dalam mengimplementasikan peran/urusan tersebut. Sudah banyak pengalaman dan pelajaran bagaimana jika kegiatan keirigasian tidak menempatkan organisasi petani sebagai subyek. Maka kegagalan program dan keberlanjutan program menjadi persoalan ketika kegiatan masih berjala, apalagi ketika program sudah selesai.
Oleh karena itu, ada dua hal yang perlu segera mereposisi organisasi petani dalam implementasi PPSIP yaitu pertama, pemerintah memasukkan institusi organisasi petani (P3A/GP3A/IP3A) sebagai pihak yang memiliki peran/urusan – bukan wewenang – dalam pelaksanaan PPSIP; dan kedua, pemerintah juga mengalokasikan dana atau anggaran bagi organisasi petani (P3A/GP3A/IP3A) untuk menjalankan peran atau urusan yang diberikan kepada organisasi petani. Pendekatan pemberdayaan masyarakat ini merupakan upaya nyata menempatkan organisasi petani sebagai subyek pembangunan pada tingkat tertentu ( LP3ES, 2001).
Bentuk pemberdayaan ini sudah dilakukan di beberapa proyek pemerintah yang ada dalam Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat/PNPM.
Pemberdayaan masyarakat merupakan ruh atau nyawa dalam pelaksanaan PPSIP. Oleh karenanya sudah seharusnya setiap jenis kegiatan yang diimplementasikan selalu berorientasi kepada hasil yang memberdayakan masyarakat. Bukan sebaliknya bahwa setiap jenis kegiatan dalam PPSIP hanya untuk ”pemberdayaan birokrasi” pemerintah.
2.6 Sumberdaya Air (Irigasi): Lokalitas dan Satu Kesatuan
Persoalan air irigasi yang umumnya menyangkut kelangkaan air di berbagai negara berkembang telah diakui oleh Saleth dan Dinar (2005) yang menyatakan bahwa kelangkaan air yang bisa berdimensi kuantitatif maupun kualitatif disebabkan oleh manajemen (pengelolaan) yang lemah. Dituliskan oleh kedua pakar tersebut sebagai berikut:
“Although the nature and severity of water problems are different from country to country, one aspect is common to most countries; water scarcity –whether quantitative, qualitative, or both—originates more from inefficient use and poor management than any real physical limits on supply augmentation.
Disampaikan pada acara Lokakarya Pembagian Urusan dalam Pengembangan dan Pengelolaan Sistem Irigasi (Role Sharing) di Hotel Patrajasa Semarang, 5-7 Juni 2007 yang diselenggarakan oleh BAPPENAS-RI.
Diketahui bahwa pengelolaan air irigasi didorong oleh adanya sumberdaya air yang tersedia. Sumberdaya air irigasi ini memiliki jenjang mulai dari jenjang (tingkatan) primer, sekunder, tersier sampai kuarter. Jenjang-jenjang tersebut merupakan jalinan sistemik yang terpadu keberadaanya. Sistem irigasi sendiri merupakan sistem penyediaan dan pengaturan air untuk pertanian. Sumber irigasi ini bisa dari air permukaan atau dari air tanah (Kodoatie, Robert, J., dan Sjarief, Roestam,: 2005).
Oleh karena itu, pengelolaan irigasi hakekatnya adalah sebuah sistem yang tidak dapat dipisah-pisahkan satu sama lainnya menurut jenjang daerah irigasi. Semakin tinggi jenjangnya, semakin luas jangkauannya dan semakin luas pula berbagai pihak yang berkepentingan terhadap keberadaan sumberdaya air yang ada di sana. Berikut adalah ilustrasi yurisdiksi sistem irigasi dalam sebuah Daerah Aliran Sungai (DAS):
Aliran Sungai dan Batas Administratif daerah otonom
Sumber: Kodoatie dan Sjarief (2005)
Dengan demikian, sistem irigasi terdiri atas sumber air, bangunan pengambilan (intake), saluran primer, saluran sekunder, saluran tersier, saluran kuarter dan saluran pembuang (ibid.,). Sistem tersebut berada dalam satu teritori tertentu dalam sebuah wilayah negara. Antara jenjang yang satu dengan yang lain, dengan demikian sesungguhnya sulit dipisah-pisahkan.
Dibutuhkan satu manajemen yang kuat terintegrasi. Jika saja penjenjangan tersebut yang terjadi ada di dalam satu wilayah administrasi pemerintahan tertentu, mungkin ini dapat di-attach dalam sistem pemerintahannya. Lain halnya jika sistem tersebut telah meliwati batas-batas administrasi pemerintahan tertentu, tentu sangat sulit di-attach dalam sistem pemerintahannya karena membutuhkan peran pemerintahan yang bersinggungan.
2.7 Fungsi-Fungsi dalam Sistem Irigasi
Selama ini urusan irigasi dalam konteks pemerintahan menggunakan dasar tingkatan daerah irigasi sebagai cara untuk mendistribusikan urusan-urusan tersebut dari berbagai jenjang (tingkatan) Pemerintahan dari sudut pandang teritorial semata. Oleh karena pemerintahan teritorial tersusun atas Pemerintah Pusat, Provinsi, dan kabupaten/ Kota bahkan hingga kecataman dan Desa/ kelurahan atau yang sejenisnya, maka distribusinya pun berjenjang dengan bersandar pada karakter jenjang pemerintahan tersebut.
Dalam praktek, umumnya sulit terjadi pola yang simetrik antara karakter hidrologis dan karakter susunan teritorial pemerintahan tersebut. Namun, dapat digambarkan bahwa urusan-urusan dalam bidang irigasi yang strategis dimiliki oleh Pemerintah. Pemerintah tetap menjadi pihak yang memiliki tanggungjawab akhir dalam pengelolaan irigasi ini. Untuk itu, selalu ada urusan dalam bidang irigasi ini yang dikembangkan secara sentralistik.
Kemudian, pemerintah Provinsi akan bergradasi di bawah Pemerintah dan seterusnya di jenjang (tingkatan) Kabupaten/ Kota mengelola Daerah irigasi Primer dan Sekunder sebatas dalam lingkup teritorinya. Jika terdapat daerah irigasi yang melebihi jangkauan Kabupaten/ kota, maka diambil alih oleh provinsi. Menurut Situmorang (2002) hal ini yang disebut sebagai kriteria eksternalitas dan akuntabilitas dalam distribusi urusan pemerintahan.
McLean menyatakan bahwa desentralisasi dalam pengelolaan urusan irigasi bukan saja kepada pemerintah daerah (berdasarkan desentralisasi teritorial semata), melainkan dapat pula kepada kelompok pengguna. Dituliskan oleh McLean sebagai berikut:
”Two important levels of devolution have evolved in water services management; devolution to local governments, and devolution to community based user groups. The later is more common and, depending on the country, is often incorporated into the first type.”
Meskipun McLean menyatakan bahwa umumnya yang dilakukan di berbagai negara terutama negara berkembang dengan menyatukan kedua cara devolusi tersebut ke dalam sistem yang pertama, dari pendapat tersebut sebenarnya dapat dilakukan secara terpisah: yang pertama desentralisasi teritorial, yang kedua adalah desentralisasi fungsional. Pakar tersebut menambahkan penjelasannya sebagai berikut:
”The new push toward participatory management process has enabled decentralization to user groups. These groups comprise the intended beneficiaries, who weigh all technically feasible options, consider capital and recurrent cost implications, make choices, and then manage systems. The approach pays dividends for both government and communities; communities get what they need, and governments are relieved of long term operation and maintenance (O&M) burden. User groups are common to irrigation and rural water supply and sanitation. Generally they are referred to as water users associations
(WUAs) in the former and water and sanitation committees (WSCs) in the latte.
Pendapat McLean di atas dapat diarahkan pula kepada desentralisasi fungsional jika organisasi WUAs atau WSCs mendapatkan pelimpahan wewenang secara langsung dari Pemerintah, bukan sekedar dari pemerintah daerah. McLean merinci dalam sebuah tabel kemungkinan rincian distribusi tanggungjawab antara WUAs dan lembaga Pemerintah dalam 6 model mulai dari sepenuhnya ditangani oleh agensi Pemerintah sampai sepenuhnya dikelola oleh asosiasi pengguna air. Organisasi pengelolaan irigasi dapat otonom penuh jika pada model ke-enam yakni ’WUA/WSC full control’ dimana aktivitas sepenuhnya dilakukan organisasi tersebut. Namun, belum sepenuhnya apakah ada dalam kategori desentralisasi fungsional atau desentralisasi teritorial yang sangat ditentukan oleh pemberi wewenang. Jika pemerintah secara langsung, maka desentralisasi fungsional yang dilakukan.
Gambar 1. Bagan alir prosedur penelitian
mm, tebal dinding emiter silinder 4—8 mm, dan diameter dalam (rongga) 9,4—17,4 mm. Rancangan emiter silinder dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Rancangaan emiter silinder dengan ketebalan dinding 8 mm
Rancang bangun irigasi tetes sederhana dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Rancang bangun irigasi tetes sederhana
2. Pengujian kinerja Irigasi Tetes Sederhana di Laboratorium
Pengujian irigasi tetes sederhana di laboratorium untuk memilih komposisi campuran bahan emiter dan ketebalan dinding emiter yang menghasilkan debit mendekati kebutuhan air 4 tanaman sawi sebesar 1,1 liter hari-1. Peubah yang diamati dalam pengujian irigasi tetes sederhana di laboratorium adalah debit air yang keluar emiter, kedalaman dan diameter pembasahan tanah di sekitar emiter.
3. Pengujian Kinerja Irigasi Tetes Sederhana di Lahan
Pengujian irigasi tetes sederhana dilahan dengan tanaman indikator sawi cina (caisim). Benih sawi disemai dalam media semai dari campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 : 1. Pada umur umur bibit sawi 10 hari dilakukan penanaman di bedengan dengan jarak tanam 20 cm antar barisan dan 10 cm dalam barisan. Bibit sawi di tanam di sekeliling alat irigasi tetes sederhana. Satu unit irigasi tetes sederhana mengairi 4 tanaman sawi. Tata letak tanaman sawi dan alat irigasi tetes sederhana di bedengan dapat dilihat pada Gambar 4.
Pupuk kandang diberikan sebanyak 10 kg/m2 yang ditaburkan secara merata bersamaan dengan pupuk Urea, Sp36, dan KCl masing-masing sebanyak 10, 15, 7.5 gram/m2 dan dibiarkan ± 7 hari sebelum tanam. Pemberian air irigasi dilakukan melalui alat irigasi setiap hari pada sore hari dari setelah tanam sampai menjelang panen. Volume air yang diberikan setiap hari melalui air irigasi yaitu 0,6 liter.
Peubah yang diamati pada pengujian alat irigasi tetes sederhana di lahan yaitu, jumlah pemakaian air irigasi, kadar air tanah di daerah perakaran, produksi sawi, dan produktivitas air tanaman sawi.
Gambar 4. Tata letak irigasi tetes sederhana dan tanaman sawi yang baru ditanam pada bedengan
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari beberapa langkah diatas dapat kita membuat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
Para petani dapat meningkatkan hasil panen padi dengan menggunakan atau menerapkan program Sapta Usaha Tani. Program Sapta Usaha Tani harus dilaksanakan secara berurutan menurut urut-urutannya agar memperoleh hasil yang baik dan memuaskan.
3.2 Saran
Beberapa saran yang dapat diberikan untuk mrnanggapi pokok permasalahan seperti diatas antara lain :
Pemerintah harusnya lebih mementingkan kepentingan petani dalam negeri mengingat negara kita merupakan negara agraris. Pengairan seharusnya dapat memenuhi kebutuhan didalam pengembangan dan meningkatkan kualitas dari para petani dalam negeri.
DAFTAR PUSTAKA
Wilarso, Joko. 2002. Biologi kelas 3 SMP. Surakarta: Pabelan
Atmanto, Sudar Dwi (Edit). Kebijakan Setengah Hati Dalam Mewujudkan
Kesejahteraan dan Kemandirian Petani. PSDAL-LP3ES. 2004.
Anonymous. Transparansi Pembangunan. Beberapa Pengalaman Program Pengembangan Kecamatan. Pengalaman Media Masa Dalam Pemantauan.. CESDA-LP3ES. 2001.
Ostrom V. Policentricity and Local Public Economic. The University of Michigan Press. Ann-Arbor. 1999.
Pasandaran, Effendi. Pembangunan Irigasi Masa Depan. Pendekatan Arus Balik Dalam Pengelolaan Irigasi. Paper untuk Bahan Sarasehan di Jaringan Komunikasi Irigasi Indonesia JKI-Indonesia). 2006.
Rahardjo, M. Dawam. Pembangunan Sektor Pertanian di Indonesia. Dari Zaman Revolosi sampai dengan Orde Baru. Prisma-LP3ES, No.8/Tahun 1989. 1989.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang mana telah memberi kita taufiq dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah yang berjudul “ UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT IRIGASI PERTANIAN ”.
Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan yang terang benderang.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menambah wawasan bagi kami khususnya, dan segenap pembaca umumnya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari berbagai pihak sangat kami harapkan untuk menuju kesempurnaan makalah ini.
Tak lupa kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah bersusah payah membantu hingga terselesaikannya penulisan makalah ini. Semoga semua bantuan dicatat sebagai amal sholeh di hadapan Allah SWT. Amin.
Makassar, Juli 2009
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................................…………. i
DAFTAR ISI ……...........................................................................................................................…… ii
BAB I PENDAHULUAN
I. 1 LATAR BELAKANG ….......................................................................................................……… 1
I.2 Tujuan …………………..................................................……………………………….. …………2
BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................................………… 3
2.1 Definisi Sapta Usaha Tani....................................................................................................……….....3
2.2 Pengolahan tanah secara baik PEMBERDAYAAN…….................................................…………….3
2.3 Kriteria tanah yang baik MASYARAKAT DALAM PPSIP.................................................…………4
2.4 Pengairan (Irigasi) Yang Baik ………..............................................................................................…4
2.5 Pemberdayaan Masyarakat Dalam PPSIP ………...........................................................................…5
2.6 Sumberdaya Air (Irigasi): Lokalitas dan Satu Kesatuan….............................................................…....6
2.7 Fungsi-Fungsi dalam Sistem Irigasi………………………........................................................……...8
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan …….........................................................................................................................…..13
3.2saran ……….....................................................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA……............................................................................................…….. ………..14
UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT IRIGASI PERTANIAN
O
L
E
H
HENDRA YANTO
JL. LANTO DG PASEWANG NO. 15A

Contact Person : 081241252122
Jangan Lupa Tinggalkan Komentar
______________________________________________________________>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
----------------------------Bulukumba Panrita Lopi-------------------------
Karya tulis Dalam Pengairan
BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangSorotan masyarakat yang cukup tajam atas jasa pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan, khususnya dengan terjadinya berbagai kasus yang menyebabkan ketidakpuasan masyarakat memunculkan isu adanya dugaan malpraktek medis yang secara tidak langsung dikaji dari aspek hukum dalam pelayanan kesehatan, karena penyebab dugaan malpraktek belum tentu disebabkan oleh adanya kesalahan/kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, khususnya dokter.Bentuk dan prosedur perlindungan terhadap kasus malpraktek yang ditinjau dari Undang-Undang Perlindungan Konsunmen No.8 tahun 1999. peraturan tersebut mengatur tentang pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga-lembaga yang dibentuk oleh pemerintah yang membidangi perlindungan konsumen, selain peran serta pemerintah, peran serta masyarakat sangat perlu dibutuhkan dalam perlindungan konsumen dalam kasus malpraktek serta penerapan hukum terhadap kasus malpraktek yang meliputi tanggung jawab hukum dan sanksinya menurut Hukum Perdata, pidana dan administrasi.1.2. Tujuan Penulisan1. Menjelaskan penegrtian malpraktek.
2. Menjelaskan jenis-jenis malpraktek dibidang pelayanan kesehatan.
3. Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek
4. Memahami upaya pencegahan malpraktek.1.3. KasusJune 28, 2010 • 1:03 pm
Malpraktek Rumah Sakit Mohammad Anwar, Mata Bayi 6 Bulan di Copot
Kediri – Nahas menimpa Rendi Nur Rizki, balita berusia enam bulan. Anak pertama pasangan Nuryudi (22) dengan Reli Hartani (24) harus hidup tanpa satu bola mata, di sebelah kanannya.
Balita berjenis kelamin laki-laki malang ini kehilangan indera penglihatannya setelah sebelumnya menjalani operasi di Rumah Sakit dr H Mohammad Anwar Sumenep.
Karena keluarga merasa putus asa dengan penanganan kepolisian, kini Rendi dibawa pulang ke rumah kakeknya Sajuri (63) Dusun Gondang, Desa Purworejo, kecamatan Kandat kabupaten Kediri.Nuryudi, ayah korban membawa pulang anaknya sejak satu bulan lalu. Yudi mengaku lelah memperjuangkan nasib anaknya di Sumenep, namun sampai saat ini ia belum mendapatkan keadilan.“Saya hanya bisa menunggu hasil dari penanganan kasus ini oleh pengacara saya, Azam Khan SH dari Jakarta yang berjanji memberikan bantuan hukum secara gratis,” ungkap Yudi, Rabu (7/4).Masih kata Yudi, melalui pesan pendek dari pengacara dijelaskan bahwa kasus tersebut sudah dilaporkan kepada Dewan Kehormatan Kedokteran. Sebab hingga saat ini pihak keluarga meyakini jika lepasnya bola mata kiri Rendi saat dirawat di Rumah Sakit Umum Muhammad Anwar akibat dugaan malpraktek medis.Yudi menjelaskan, peristiwa memilukan yang menimpa buah hatinya bermula dari kedatangannya bersama sang istri ke rumah sakit Muhammad Anwar Sumenep pada 12 Oktober 2009 lalu. Saat itu istrinya Reli hendak melahirkan.Setelah dalam penanganan medis, Rendi pun lahir secara normal. Namun, karena berat berat badan bayi di bawah normal, akhirnya Rendi harus dirawat di inkubator.
Sedangkan, Reli ibunya diperbolehkan pulang. Rendi pun harus ditunggui secara bergantian oleh keluarganya, karena Yudi sebagai kuli angkut harus bekerja mencari uang untuk biaya perawatan anaknya.Pada tanggal 22 Oktober, atau tepatnya hari ke-9 setelah kelahirannya, Rendi ditunggui oleh neneknya Marwah. Petaka itu pun datang, saat Marwan harus beli obat ke rumah sakit, Rendi dijaga oleh tetangga Misrawani.“Saat itu tiba-tiba datang salah seorang perawat menyodorkan surat pernyataan kepada tetangga saya bahwa mata Rendi harus dioperasi karena terkena penyakit yang berbahaya, kalau tidak akan menjalar ke otak. Tetangga saya pun membubuhi tanda tangannya dan anak saya akhirnya dioperasi,” cerita Yudi.
Keesokan harinya, pada tanggal 23 Oktober 2009, Yudi mendapat surat dari rumah sakit, dia diminta datang. ”Tiba-tiba saya diberi bola mata anak saya dan disuruh menguburkan karena mengandung penyakit yang berbahaya. Tentu saja saya shock, karena saat lahir mata anak saya normal,” masih cerita Yudi.Apalagi, Reli ibu Rendi seakan tak percaya bahwa bola mata anaknya telah dikeluarkan dari kelopaknya. Karena tidak terima, kemudian keluarga mendatangi rumah sakit, untuk menuntut agar mengembalikan bola mata Rendi. Namun, Yudi dan Reli malah mendapat bentak-bentakan dari petugas medis.Tepat pada tanggal 12 November 2009, akhirnya keluarga memutuskan untuk lapor polisi. Namun, meski sempat diproses, namun akhirnya kasus itu dihentikan oleh pihak kepolisian Resor Sumenep karena tidak ditemukannya alat bukti malpraktik.Ditunjukkan dengan surat pemberitahuan Polres Sumenep nomor B/352/X/2009/Satreskrim yang ditandatangani Kepala Satuan Reskrim Ajun Komisaris Polisi Mualimin. Dalam surat tersebut tertulis bahwa Polres Sumenep belum menemukan alat bukti baru (novum) untuk melanjutkan pemeriksaan tersebut.
BAB IIPEMBAHASAN2.1. Pengertian Malpraktek
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.Definisi malpraktik profesi kesehatan adalah kelalaian dari seseorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los Angelos, California, 1956).Pengertian malpraktik medik menurut WMA (World Medical Associations) adalah Involves the physician’s failure to conform to the standard of care for treatment of the patient’s condition, or a lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient (adanya kegagalan dokter untuk menerapkan standar pelayanan terapi terhadap pasien, atau kurangnya keahlian, atau mengabaikan perawatan pasien, yang menjadi penyebab langsung terhadap terjadinya cedera pada pasien).Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).2.2. Malpraktek Dibidang HukumUntuk malpraktik hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil malpractice dan Administrative malpractice.1. Criminal malpracticePerbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :a. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).• Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).• Criminal malpractice yang bersifat ceroboh (recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent.• Criminal malpractice yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.2. Civil malpracticeSeorang tenaga kesehatan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga kesehatan yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:a. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.3. Administrative malpracticeDokter dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala tenaga perawatan tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan melanggar hokum administrasi.2.3. Pembuktian Malpraktek Dibidang Pelayanan KesehatanDalam kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan dua cara yakni :1. Cara langsung
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari kewajiban)
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan. c. Direct Cause (penyebab langsung)d. Damage (kerugian)Dokter untuk dapat dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal) dan kerugian (damage) yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil (outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan dokter. Sebagai adagium dalam ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus diberikan oleh si penggugat (pasien).2. Cara tidak langsungCara tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan perawatan (doktrin res ipsa loquitur). Doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.Di dalam transaksi teraputik ada beberapa macam tanggung gugat, antara lain:1. Contractual liabilityTanggung gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan pengobatan, kewajiban yang harus dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.2. Vicarius liabilityVicarius liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya (sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian pasien yang diakibatkan kelalaian perawat sebagai karyawannya.
3. Liability in tortLiability in tort adalah tanggung gugat atas perbuatan melawan hokum (onrechtmatige daad). Perbuatan melawan hukum tidak terbatas haya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).2.4. Malpraktek Ditinjau Dari Segi Etika dan HukumMasalah dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa. Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Tadinya masyarakat berharap bahwa UU Praktik Kedokteran itu akan juga mengatur masalah malpraktek medik. Namun, materinya ternyata hanya mengatur masalah disiplin, bersifat intern. Walaupun setiap orang dapat mengajukan ke Majelis Disiplin Kedokteran, tetapi hanya yang menyangkut segi disiplin saja. Untuk segi hukumnya, undang-undang merujuk ke KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) bila terjadi tindak pidana. Namun, kalau sampai diajukan ke Pengadilan tetap terkatung-katung tidak ada kunjung penyelesaiannya, lantas apa gunanya?Di negara yang menganut sistem hukum Anglo-Saxon, masalah dugaan malpraktik medik ini sudah ada ketentuan di dalam common law dan menjadi yurisprudensi. Walaupun Indonesia berdasarkan hukum tertulis, seharusnya tetap terbuka putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap menjadi yurisprudensi.
Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran.Bagaimana materinya, kita bisa belajar dari negara-negara yang telah memiliki peraturan tentang hal tersebut. Harapan masyarakat, ketika mereka merasa dirugikan akibat tindakan medis, landasan hukumnya jelas. Sedangkan di pihak para medis, setiap tindakannya tidak perlu lagi dipolemikan sepanjang sesuai undang-undang.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.Bagi sosiolog, etika adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan (ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.Bagi asosiasi profesi, etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan pelayanan profesi itu.Malpraktek meliputi pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja (intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (hukumonliine.com, 17 April 2004).
Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan Pe-Er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien.Secara substansial, RUU yang terdiri dari 182 pasal ini memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. RUU Praktek Kedokteran memungkinkan sebuah sistem untuk meregulasi pelayanan medis yang terstandardisasi dan terkualifikasi sehingga probabilitas terjadinya malpratek dapat dieliminasi seminimal mungkin. Dengan dicantumkannya peraturan pidana dan perdata serta peradilan profesi tenaga medis, harapan perlindungan terhadap pasien dapat terealisasi.2.5. Aspek Hukum MalpraktekHukum itu mempunyai 3 pengertian, sebagai sarana mencapai keadilan, yang kedua sebagai pengaturan dari penguasa yang mengatur perbuatan apa yang boleh dilakukan, dilarang, siapa yang melakukan dan sanksi apa yang akan dijatuhkan (hukum objektif). Dan yang ketiga hukum itu juga merupakan hak.Oleh karenanya penegakan hukum bukan hanya untuk medapatkan keadilan tapi juga hak bagi masyarakat (korban).
Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua malpraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat menempatkan malpraktek medik dengan hukum pidana adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsure tindak pidana.
Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).Pada tindak pidana aborsi criminalis (Pasal 347 dan 348 KUHP). Hampir tidak pernah jaksa menerapkan pasal penganiyaan (pasal 351-355 KUHP) untuk malpraktik medik.
Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.Dari sudut hukum perdata, perlakuan medis oleh dokter didasari oleh suatu ikatan atau hubungan inspanings verbintenis (perikatan usaha), berupa usaha untuk melakukan pengobatan sebaik-baiknya sesuai dengan standar profesi, standar prosedur operasional, kebiasaan umum yang wajar dalam dunia kedokteran tapi juga memperhatikan kesusilaan dan kepatutan.Perlakuan yang tidak benar akan menjadikan suatu pelanggaran kewajinban (wan prestasi).Ada perbedaan akibat kerugian oleh malpraktik perdata dengan malpraktik pidana. Kerugian dalam malpraktik perdata lebih luas dari akibat malpraktik pidana. Akibat malpraktik perdata termasuk perbuatan melawan hukum terdiri atas kerugian materil dan idiil, bentuk kerugian ini tidak dicantumkan secara khusus dalam UU. Berbeda dengan akibat malpraktik pidana, akibat yang dimaksud harus sesuai dengan akibat yang menjadi unsure pasal tersebut. Malpraktik kedokteran hanya terjadi pada tindak pidana materil (yang melarang akibat yang timbul,dimana akibat menjadi syarat selesainya tindak pidana). Dalam hubungannya dengan malpraktik medik pidana, kematian,luka berat, rasa sakit atau luka yang mendatangkan penyakit atau yang menghambat tugas dan matapencaharian merupakan unsure tindak pidana.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself), misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya.2.6. Asumsi masyarakat terhadap malpraktekMaraknya malpraktek di Indonesia membuat masyarakat tidak percaya lagi pada pelayanan kesehatan di Indonesia. Ironisnya lagi, pihak kesehatan pun khawatir kalau para tenaga medis Indonesia tidak berani lagi melakukan tindakan medis karena takut berhadapan dengan hukum. Lagi-lagi hal ini disebabkan karena kurangnya komunikasi yang baik antara tenaga medis dan pasien. Tidak jarang seorang tenaga medis tidak memberitahukan sebab dan akibat suatu tindakan medis. Pasien pun enggan berkomunikasi dengan tenaga medis mengenai penyakitnya. Oleh karena itu, Departemen Kesehatan perlu mengadakan penyuluhan atau sosialisasi kepada masyarakat tentang bagaimana kinerja seorang tenaga medis.Sekarang ini tuntutan professional terhadap profesi ini makin tinggi. Berita yang menyudutkan serta tudingan bahwa dokter telah melakukan kesalahan dibidang medis bermunculan. Di Negara-negara maju yang lebih dulu mengenal istilah makpraktek medis ini ternyata tuntutan terhadap tenaga medis yang melakukan ketidaklayakan dalam praktek juga tidak surut. Biasanya yang menjadi sasaran terbesar adalah dokter spesialis bedah (ortopedi, plastic dan syaraf), spesialis anestesi serta spesialis kebidanan dan penyakit kandungan.Di Indonesia, fenomena ketidakpuasan pasien pada kinerja tenaga medis juga berkembang. Pada awal januari tahun 2007 publik dikejutkan oleh demontrasi yang dilakukan oleh para korban dugaan malpraktik medis ke Polda Metro Jaya dengan tuntutan agar polisi dapat mengusut terus sampai tuntas setiap kasus dugaan malpraktek yang pernah dilaporkan masyarakat.Tuntutan yang demikian dari masyarakat dapat dipahami mengingat sangat sedikit jumlah kasus malpraktik medik yang diselesaikan di pengadilan. Apakah secara hukum perdata, hukum pidana atau dengan hukum administrasi. Padahal media massa nasional juga daerah berkali-kali melaporkan adanya dugaan malpraktik medik yang dilakukan dokter tapi sering tidak berujung pada peyelesaian melalui sistem peradilan.
Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi)
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malpraktek. Hal ini tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari Pemerintah pada umumnya dan peran dari Departemen Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini.2.7. Upaya pencegahan malpraktik dalam pelayanan kesehatan1. Upaya pencegahan malpraktek dalam pelayanan kesehatanDengan adanya kecenderungan masyarakat untuk menggugat tenaga bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:a. Tidak menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat verbintenis).b. Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukumApabila upaya kesehatan yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan hukum, maka tenaga bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.b. Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.Berbicara mengenai pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.Untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan (damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan dan hal inilah yang menguntungkan tenaga kebidanan.
• Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:1. Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.3. Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.4. Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.5. Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang bidan/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
BAB III
PENUTUPKesimpulan
Ada banyak penyebab mengapa persoalan malpraktik medik mencuat akhir-akhir ini dimasyarakat diantaranya pergeseran hubungan antara tenaga medis dan pasien yang tadinya bersifat paternalistic tidak seimbangdan berdasarkan kepercayaan (trust, fiduciary relationship) bergantidengan pandangan masyarakat yang makin kritis serta kesadaranhukum yang makin tinggi. Selain itu jumlah dokter di Indonesia dianggap belum seimbang dengan jumlah pasien sehingga seorang tenaga medis menangani banyak pasien (berpraktek di berbagai tempat) yang berakibat diagnosa menjadi tidak teliti.
Apresiasi masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga dalam melakukan hubungan dengan dokter, pasien sangat berharap agar dokter dapat memaksimalkan pelayanan medisnya untuk harapan hidup dan kesembuhan penyakitnya. Selama ini masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan malpraktik medik yang dilaporkan media massa atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum.
Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktik medik ini.Masih ada masyarakat (pasien) yang belum memahami hak-haknya untuk dapat meloprkan dugaan malpraktik yang terjadi kepadanya baik kepada penegak hukum atau melalui MKDKI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia). Oleh karenanya lembaga MKDKI sebagai suatu peradilan profesi dapat ditingkatkan peranannya sehingga mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai lembaga yang otonom, independent dan memperhatikan juga nasib korban. Bahkan berkaitan dengan MKDKI ini SEMA RI tahun 1982 menyarankan agar untuk kasus dugaan malpraktik medik sebaiknya diselesaikan dulu lewat peradilan profesi ini.Dari sudut hukum acara (pembuktian) terkadang penegak hukum kesulitan mencari keterangan ahli yang masih diliputi esprit de corps. Mungkin sudah saatnya diperlukan juga saksi yang memahami ilmu hukum sekaligus ilmu kesehatan.
Bahaya malpraktek memang luar biasa. Tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan atau gangguan fatal organ tubuh, tetapi juga menyebabkan kematian. Masalah yang ditimbulkan pun bisa sampai pada masalah nama baik, baik pribadi bahkan negara, seperti yang dipaparkan waktu penjelasan fenomena malpraktek pada era globalisasi tadi. Benar-benar kompleks sekali permasalahan yang timbul akibat malpraktek ini. Sehingga benar bahwa malpraktek dikatakan sebagai sebuah malapetaka bagi dunia kesehatan di Indonesia.2.1. SaranTerhadap dugaan malpraktik medik, masyarakat dapat melaporkan kepada penegak hukum (melalui jalur hukum pidana), atau tuntutan ganti rugi secara perdata, ataupun menempuh ketentuan pasal 98 KUHAP memasukkan perkara pidana sekaligus tuntutan gantirugi secara perdata.
DAFTAR PUSTAKA• http://bidankita.com/?p=210
• http://chans-ums.blogspot.com/2009/07/malpraktek.html
• http://everythingaboutortho.wordpress.com/2008/06/28/malpraktik-sejauh-mana-kita-sebagai-seorang-dokter-memahaminya/
• http://rob13y.wordpress.com/2010/06/28/salah-operasi-mata-bayi-6-bulan-copot/
• http://www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/Forensik/MALPRAKTEK%20MEDIK.pdf
• http://www.ilunifk83.com/peraturan-dan-perijinan-f16/uu-ri-no-29-tahun-2004-tentang-praktik-kedokteran-t93.htm
2. Menjelaskan jenis-jenis malpraktek dibidang pelayanan kesehatan.
3. Menjelaskan cara-cara pembuktian malpraktek
4. Memahami upaya pencegahan malpraktek.
Malpraktek Rumah Sakit Mohammad Anwar, Mata Bayi 6 Bulan di Copot
Kediri – Nahas menimpa Rendi Nur Rizki, balita berusia enam bulan. Anak pertama pasangan Nuryudi (22) dengan Reli Hartani (24) harus hidup tanpa satu bola mata, di sebelah kanannya.
Balita berjenis kelamin laki-laki malang ini kehilangan indera penglihatannya setelah sebelumnya menjalani operasi di Rumah Sakit dr H Mohammad Anwar Sumenep.
Karena keluarga merasa putus asa dengan penanganan kepolisian, kini Rendi dibawa pulang ke rumah kakeknya Sajuri (63) Dusun Gondang, Desa Purworejo, kecamatan Kandat kabupaten Kediri.
Sedangkan, Reli ibunya diperbolehkan pulang. Rendi pun harus ditunggui secara bergantian oleh keluarganya, karena Yudi sebagai kuli angkut harus bekerja mencari uang untuk biaya perawatan anaknya.
Keesokan harinya, pada tanggal 23 Oktober 2009, Yudi mendapat surat dari rumah sakit, dia diminta datang. ”Tiba-tiba saya diberi bola mata anak saya dan disuruh menguburkan karena mengandung penyakit yang berbahaya. Tentu saja saya shock, karena saat lahir mata anak saya normal,” masih cerita Yudi.
Secara harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktik” mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktik berarti “pelaksanaan atau tindakan yang salah”.
etika dan norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
b. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau kealpaan (negligence).• Criminal malpractice yang bersifat sengaja (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
b. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
c. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
d. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggung jawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability.Dengan prinsip ini maka rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya (tenaga kesehatan) selama tenaga kesehatan tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
Oleh Taylor membuktikan adanya kelalaian memakai tolok ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian tenaga dokter dengan pasien, dokter haruslah bertindak berdasarkan:
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
Jika seorang dokter melakukan tindakan menyimpang dari apa yang seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard profesinya, maka dokter dapat dipersalahkan.
a. Fakta tidak mungkin ada/terjadi apabila dokter tidak lalai
b. Fakta itu terjadi memang berada dalam tanggung jawab dokter
c. Fakta itu terjadi tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory negligence.
3. Liability in tort
Dan karena masyarakat semakin sadar terhadap masalah pelayanan kesehatan, DPR yang baru harus dapat menangkap kondisi tersebut dengan berinisiatif membentuk Undang-Undang (UU) tentang Malpraktik Medik, sebagai pelengkap UU Praktik Kedokteran.
Etika punya arti yang berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas. Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Bagi eksekutif puncak rumah sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Ketidaktercantuman istilah dan definisi menyeluruh tentang malpraktek dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malpraktek yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malpraktek yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan, semuanya merupakan Pe-Er besar bagi pemerintah. Barangkali inovasi cerdas pemerintah guna menangani kasus malpraktek dan sengketa medik adalah lahirnya RUU Praktik Kedokteran. Akan tetapi, benarkah demikian? Dalam beberapa pasal, RUU Praktik Kedokteran memang memberikan kepastian hukum bagi dokter sekaligus perlindungan bagi pasien.
Sehubungan dengan hal ini, Adami Chazawi juga menilai tidak semua malpraktik medik masuk dalam ranah hukum pidana. Ada 3 syarat yang harus terpenuhi, yaitu pertama sikap bathin dokter (dalam hal ini ada kesengajaan/dolus atau culpa), yang kedua syarat dalam perlakuan medis yang meliputi perlakuan medis yang menyimpang dari standar tenaga medis, standar prosedur operasional, atau mengandung sifat melawan hukum oleh berbagai sebab antara lain tanpa STR atau SIP, tidak sesuai kebutuhan medis pasien. Sedangkan syarat ketiga untuk dapat menempatkan malpraktek medik dengan hukum pidana adalah syarat akibat, yang berupa timbulnya kerugian bagi kesehatan tubuh yaitu luka-luka (pasal 90 KUHP) atau kehilangan nyawa pasien sehingga menjadi unsure tindak pidana.
Selama ini dalam praktek tindak pidana yang dikaitkan dengan dugaan malpraktik medik sangat terbatas. Untuk malpraktek medik yang dilakukan dengan sikap bathin culpa hanya 2 pasal yang biasa diterapkan yaitu Pasal 359 (jika mengakibatkan kematian korban) dan Pasal 360 (jika korban luka berat).
Dalam setiap tindak pidana pasti terdapat unsure sifat melawan hukum baik yang dicantumkan dengan tegas ataupun tidak. Secara umum sifat melawan hukum malpraktik medik terletak pada dilanggarnya kepercayaan pasien dalam kontrak teurapetik tadi.
Jika dokter hanya melakukan tindakan yang bertentangan dengan etik kedokteran maka ia hanya telah melakukan malpraktik etik. Untuk dapat menuntut penggantian kerugian karena kelalaian maka penggugat harus dapat membuktikan adanya suatu kewajibanbagi dokter terhadap pasien, dokter telah melanggar standar pelayananan medik yang lazim dipergunakan, penggugat telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.
Terkadang penggugat tidak perlu membuktikan adanya kelalaian tergugat. Dalam hukum dikenal istilah Res Ipsa Loquitur (the things speaks for itself), misalnya dalam hal terdapatnya kain kasa yang tertinggal di rongga perut pasien sehingga menimbulkan komplikasi pasca bedah. Dalam hal ini dokterlah yang harus membuktikan tidak adanya kelalain pada dirinya.
Salah satu dampak adanya malpraktek pada zaman sekarang ini (globalisasi)
Saat ini kita hidup di jaman globalisasi, jaman yang penuh tantangan, jaman yang penuh persaingan dimana terbukanya pintu bagi produk-produk asing maupun tenaga kerja asing ke Indonesia. Kalau kita kaitkan dengan dunia medis, ada manfaat yang didapat, tetapi banyak pula kerugian yang ditimbulkan. Manfaatnya adalah seiring mesuknya jaman globalisasi, maka tidak menutup kemungkinan akan kehadiran peralatan pelayanan kesehatan yang canggih. Hal ini memberikan peluang keberhasilan yang lebih besar dalam kesembuhan pasien. Akan tetapi, banyak juga kerugian yang ditimbulkan. Masuknya peralatan canggih tersebut memerlukan sumber daya manusia yang dapat mengoperasikannya serta memperbaikinya kalau rusak. Yang menjadi sorotan disini adalah dalam hal pengoperasiannya. Coba kita analogikan terlebih dahulu, dengan masuknya peralatan-peralatan canggih tersebut, maka mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Namun, yang terjadi saat ini adalah banyak tenaga medis yang melakukan kesalahan dalam pengoperasian peralatan canggih tersebut sehingga menimbulkan malpraktek. Jelas sekali bahwa ketergantungan pada peralatan pelayanan kesehatan ini dapat menghambat pelayanan kesehatan. Untuk menindaklanjuti masalah ini, agar tidak sampai terjadi malpraktek, perlu adanya penyuluhan kepada tenaga pelayanan kesehatan mengenai masalah ini. Kemudian, perlu adanya penyesuaian kurikulum pendidikan dengan perkembangan teknologi. Satu hal yang lebih penting lagi adalah perlu adanya kesadaran bagi para tenaga medis untuk terus belajar dan belajar agar dapat meningkatkan kemampuannya dalam penggunaan peralatan canggih ini demi mencegah terjadinya malpraktek. Hal ini dapat direalisasikan dengan adanya penyuluhan yang disebutkan tadi. Selain pembahasan dari sisi peralatan tadi, juga perlu dipikirkan masalah eksistensi dokter Indonesia dalam menghadapi globalisasi. Seperti yang disebutkan sebelumnya, di jaman globalisasi ini memberikan pintu terbuka bagi tenaga kesehatan asing untuk masuk ke Indonesia, begitu pula tenaga kesehatan Indonesia dapat bekerja diluar negeri dengan mudah. Namun, apabila tidak ada tindakan untuk mempersiapkan hal ini, dapat menimbulkan kerugian bagi tenaga kesehatan kita. Bayangkan saja, tidak menutup kemungkinan apabila seorang tenaga medis yang kurang mempersiapkan dirinya untuk berkiprah di negeri orang, dikarenakan ilmunya yang masih minim serta perbedaan kurikulum di negeri yang ia tempati, terjadilah malpraktek. Hal ini tidak saja mencoreng nama baik tenaga edis tersebut tersebut, tetapi juga nama baik dunia kesehatan Indonesia. Yang jelas, kami sangat berharap akan peran dari Pemerintah pada umumnya dan peran dari Departemen Kesehatan pada khususnya untuk mempersiapkan tenaga kesehatan Indonesia dalam menghadapi era globalisasi saat ini.
c. Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan, konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya.
f. Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
2. Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila tuduhan kepada bidan merupakan criminal malpractice, maka tenaga bidan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan bukti untuk menangkis/ menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik (risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.
• Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
2. Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
6. Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).
PENUTUP
Ada banyak penyebab mengapa persoalan malpraktik medik mencuat akhir-akhir ini dimasyarakat diantaranya pergeseran hubungan antara tenaga medis dan pasien yang tadinya bersifat paternalistic tidak seimbangdan berdasarkan kepercayaan (trust, fiduciary relationship) bergantidengan pandangan masyarakat yang makin kritis serta kesadaranhukum yang makin tinggi. Selain itu jumlah dokter di Indonesia dianggap belum seimbang dengan jumlah pasien sehingga seorang tenaga medis menangani banyak pasien (berpraktek di berbagai tempat) yang berakibat diagnosa menjadi tidak teliti.
Apresiasi masyarakat pada nilai kesehatan makin tinggi sehingga dalam melakukan hubungan dengan dokter, pasien sangat berharap agar dokter dapat memaksimalkan pelayanan medisnya untuk harapan hidup dan kesembuhan penyakitnya. Selama ini masyarakat menilai banyak sekali kasus dugaan malpraktik medik yang dilaporkan media massa atau korban tapi sangat sedikit jumlahnya yang diselesaikan lewat jalur hukum.
Dari sudut penegakan hukum sulitnya membawa kasus ini ke jalur pengadilan diantaranya karena belum ada keseragaman paham diantara para penegak hukum sendiri soal malpraktik medik ini.
Bahaya malpraktek memang luar biasa. Tidak hanya mengakibatkan kelumpuhan atau gangguan fatal organ tubuh, tetapi juga menyebabkan kematian. Masalah yang ditimbulkan pun bisa sampai pada masalah nama baik, baik pribadi bahkan negara, seperti yang dipaparkan waktu penjelasan fenomena malpraktek pada era globalisasi tadi. Benar-benar kompleks sekali permasalahan yang timbul akibat malpraktek ini. Sehingga benar bahwa malpraktek dikatakan sebagai sebuah malapetaka bagi dunia kesehatan di Indonesia.
• http://chans-ums.blogspot.com/2009/07/malpraktek.html
• http://everythingaboutortho.wordpress.com/2008/06/28/malpraktik-sejauh-mana-kita-sebagai-seorang-dokter-memahaminya/
• http://rob13y.wordpress.com/2010/06/28/salah-operasi-mata-bayi-6-bulan-copot/
• http://www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/Forensik/MALPRAKTEK%20MEDIK.pdf
• http://www.ilunifk83.com/peraturan-dan-perijinan-f16/uu-ri-no-29-tahun-2004-tentang-praktik-kedokteran-t93.htm
makalah malpraktek
|