PROFIL BBAP TAKALAR

Balai Budidaya Air Payau Takalar memiliki tugas pokok mengembangkan teknik perbenihan dan pembudidayaan komoditas budidaya air payau serta melindungi sumber induk/benih asal alam dan memonitor mutu lingkungan akuakultur di Sulawesi, Maluku sampai Papua. BBAP Takalar beralamat di Jl. Desa Bontole, Kec. Galesong Selatan, Takalar, Sulawesi Selatan 92254 dengan Telepon yang dapat dihubungi : +62 411 320 730.

Fasilitas yang dimiliki antara lain:
1. Gedung perkantoran,
2. Lab Kesehatan Ikan, Lab Lingkungan, Lab Pakan
3. Lab Pakan alami, Lab Basah
4. Sarana pemeliharaan induk dan perbenihan
5. Wadah (Bak/ KJA) dan kolam pembesaran
6. Auditorium, perpustakaan, Asrama dan
7. Sarana pelatihan akuakultur

Komoditas budidaya yang dikembangkan antara lain : ikan kerapu, udang windu, udang galah, udang vaname, kepiting, ikan beronang dan rumput laut.


Takalar Kembangkan Budidaya Rajungan
Permintaan ekspor rajungan (Portunus pelagicus) kian naik dari tahun ke tahun. Sayang, ketersediaan kepiting laut ini justru semakin menyusut. Sebab selama ini pemenuhan permintaan rajungan lebih banyak mengandalkan hasil tangkapan alam.
Fenomena tersebut antara lain bisa dilihat di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Menurut survei dari Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Takalar, wilayah peraiaran selatan Kecamatan Galesong memperlihatkan penurunan rata-rata 10,35 kg hasil tangkapan berukuran lebih besar dari 125 gram, menjadi 6,95 kg dengan kisaran ukuran 80 - 125 gram dalam ukuran 4 - 5 tahun terakhir.
Berangkat dari sini, maka BBAP Takalar yang merupakan salah satu Unit Pelaksana Teknis, (UPT) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, berupaya mengembangkan pembenihan dan budidaya Rajungan. Kepala BBAP Takalar Sugeng Raharjo, A.Pi mengatakan, usaha budidaya rajungan mulai dari pembenihan hingga pembesaran ini bertujuan untuk menghasilkan teknologi budidaya yang efektif, efisien dan mudah diadopsi oleh masyarakat.
Keberhasilan pengembangan teknologi ini diharapkan bisa memberi alternatif mata pencaharian bagi masyarakat. Dengan demikian akan ada penurunan prosentase tingkat masyarakat miskin dan ujung-ujungnya bisa memberikan konstribusi pada PAD serta peningkatan nilai ekspor non migas. Lebih dari itu juga diharapkan bisa menyediakan sumber bahan baku rajungan.
Upaya pengembangan teknologi budidaya rajungan ini telah dirintis oleh Balai Budidaya Air Payau Takalar sejak tahun 2004 dan telah menunjukkan kemajuan yang cukup signifikan. Hal in dapat dibuktikan dari tingkat kelangsungan hidup larva rata-rata mencapai 30 – 45 % hingga ukuran crablet 10. Untuk memperoleh hasil tersebut di gunakan induk yang dipelihara dalam bak dan dilengkapi dengan substrat pasir yang bersekat dengan ukuran 60 x 60 x 60 cm. hal ini guna mengantisipasi sifat kanibalisme (saling memakan) dengan kepadatan 1 ekor/sekat. Fungsinya untuk mengantisipasi sifat kanibalisme (saling memakan).
Penanggung jawab divisi Rajungan, BBAP Takalar, Eddy Nurcahyo menyebutkan asumsi biaya produksi rajungan per siklus Rp. 4.700.000. Dengan perkiraan hasil penjualan pada harga rata-rata Rp. 250 – Rp. 300 per individu, maka akan diperoleh keuntungan Rp.2.770.000 per siklus produksi yang berlangsung kurang lebih satu bulan."Analisa usaha budidaya rajungan ini cukup menguntungkan," kata Eddy.
Ditambahkan Eddy, sebaran benih rajungan yang telah dihasilkan oleh BBAP Takalar sampai dengan 2009 ini telah didistribusikan ke berbagai wilayah. Antara lain Jawa Timur dan beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan seperti Takalar, Barru, Maros, Surabaya. untuk mekanisme pembelian benih bisa langsung mxenghubungi balai.
Dan sebagai upaya aplikasi teknologi telah dilaksanakan kegiatam diseminasi budidaya kepada masyarakat di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan yaitu Barru, Maros, dan Takalar.


Budidaya Rajungan, Komoditas Unggulan Sulsel
Pengembangan teknologi pembenihan dan budidaya rajungan (portunus pelagicus) di Kecamatan Galesong dinilai Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Takalar merupakan salah satu komoditas unggulan di Sulsel.
Teknologi pembudidayaan ini digulirkan BBPBAP Takalar sejak 2004. Berdasarkan data BBPBAP Takalar, pengembangan teknologi budidaya rajungan tersebut menunjukkan kemajuan yang cukup berarti. Tingkat kelangsungan hidup bibit rajungan (larva) rata-rata mencapai 30 persen hingga 45 persen dengan ukuran crablet sepuluh.Penanggung Jawab Divisi Rajungan BBPBAP, Edi Nurcahyo, menjelaskan bahwa untuk memperoleh hasil tersebut harus digunakan induk rajungan yang dipelihara dalam bak dilengkapi substrat pasir bersekat dengan ukuran tiga kali 60 sentimeter.
“Ini untuk mengantisipasi sifat kanibalisme atau saling memakan larva dengan kepadatan satu ekor per sekat substrat,” papar Edi, Jumat, 10 Juli. Menurut Edi, analisisi usaha yang dilakukan teknologi budidaya ini cukup menguntungkan. Hal tersebut bisa dilihat dari asumsi biaya produksi per siklus yang mencapai Rp 4.700.000. “Total keuntungan Rp 2.770.000 per siklus dengan produksi lebih kurang satu bulan,” terangnya.
Edi menambahkan, tujuan lain pembenihan dan budidaya rajungan ini mengantisipasi lonjakan permintaan ekspor. Kendalanya, lanjut Edi, terletak pada meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap komoditas rajungan. “Kecenderungan aktivitas penangkapan secara liar dikhawatirkan akan berdampak pada over exploitation,” ujarnya.
Hasil survei yang dilakukan BBPBAP Takalar di perairan selatan Galesong dalam kurun waktu 4 tahun hingga 5 tahun terakhir memperlihatkan angka penurunan dari hasil tangkapan rajungan dengan rata-rata 10,35 kilogram (kg). Sedangkan ukuran lebih besar dari 125 gram berbobot 6,95 kg.
Terpisah, Kepala BBPBAP Takalar, Sugeng Raharjo, menuturkan bahwa pengembangan teknologi budidaya rajungan ini tidak lain untuk menghasilkan teknologi budidaya yang efektif, efisien, dan mudah diadopsi seluruh masyarakat.
“Kegiatan ini tidak mengenal kultur masyarakat. Petani rajungan diberi pengetahuan mengenai pembenihan hingga pembesaran. Keberhasilan pengembangan teknologi ini diharapkan mampu memberi harapan baru bagi masyarakat Sulsel sebagai kegiatan alternatif untuk mengembangkan usaha,”jelasnya.
Sugeng menyebutkan, sebaran benih rajungan yang dihasilkan BBPBAP Takalar sampai 2009 ini telah didistribusikan ke Jawa Timur dan beberapa kabupaten di wilayah Sulsel, seperti Takalar, Barru, Maros. BBAP masih berupaya mengaplikasikan teknologi budidaya rajungan dalam bentuk kegiatan diseminasi



Jenis-jenis Kerapu Budidaya

Di Indonesia kerapu termasuk komoditas unggulan perikanan budidaya. Harga cukup tinggi dan merupakan komoditas ekspor yang sangat diminati di pasar Internasional. Terdapat 7 genus ikan kerapu yang tersebar di perairan Indonesia, yaitu Aethaloperca, Anyperodon, Cephalopholis, Chromileptes, Epinephelus, Plectropomus, dan Variola. Dari 7 genus kerapu tersebut tidak semua dapat dibudidayakan dengan baik. Ada 3 genus saja yang dapat dibudidayakan dengan baik dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Ketiga genus tersebut adalah Chromileptes, Plectropomus, dan Epinephelus.
Spesies kerapu komersial genus Chromileptes adalah Chromileptes altivelis yang termasuk jenis Serranidae, ordo Perciformes. Jenis kerapu ini disebut juga polka dot grouper atau hump backed rocked atau dalam bahasa lokal sering disebut ikan Kerapu Tikus. Ciri-ciri tubuh adalah berwarna dasar abu-abu dengan bintik hitam. Ikan kerapu tikus juga sering disebut sebagai ikan kerapu bebek merujuk pada cirri-ciri tubuhnya yang dihiasi bintik-bintik kecil bulat berwarna hitam dan dengan karakteristik tubuhnya yang seperti itu jenis kerapu ini dalam perdagangan internasional disebut sebagai panther fish. Daerah habitatnya meliputi Kep. Seribu, Kep. Riau, Bangka, Lampung dan kawasan perairan terumbu karang.
Spesies kerapu dari genus Plectrocopomus yang sudah dapat dibudidayakan dan memiliki nilai jual yang cukup tinggi adalah ikan kerapu sunuk atau kerapu merah (Plectrocopomus leopardus) yang banyak dibudidayakan oleh karena jenis ikan ini ternyata pertumbuhannya lebih cepat daripada jenis ikan kerapu lainnya, dan benihnya selain diperoleh dari alam (penangkapan) juga sudah dapat diadakan dengan cara pemijahan dalam bak. Kerapu Sunuk (coral trout) sering ditemukan hidup di perairan berkarang. Badan ikan memanjang tegap. Kepala, badan, dan bagian tengah dari sirip berwarna abu-abu kehijau-hijauan, cokelat, merah, atau jingga kemerahan dengan bintik-bintik biru yang berwarna gelap pada pinggirnya. Bintik-bintik pada kepala dan bagian depan badan sebesar diameter bola matanya atau lebih besar. Pada jenis kerapu sunu lodi kasar umumnya bintik-bintik biru di badan berbentuk lonjong. Sebaliknya, pada kerapu sunu lodi halus bintik-bintik ini berbentuk bulat dan lebih kecil ukurannya bintik-bintik yang ada di bagian belakang badan berbentuk bukat dan berukuran kecil. Sementara itu, bagian bawah kepala dan badan tidak terdapat bintik-bintik biru. Namun, ada satu bintik biru pada pangkal sirip dada. Bentuk ujung sirip ekor ikan kerapu sunu rata. Ujung sirip tersebut terdapat garis putih. Adapun pada sirip punggung ikan terdapat duri sebanyak 7-8 buah. Daerah habitat tersebar di perairan Kep. Karimanjawa, Kep. Seribu, Lampung Selatan, Kep. Riau, Bangka Selatan, dan perairan terumbu karang.
Spesies dari genus Epinephelus adalah ikan Kerapu Lumpur atau estuary grouper (Epinephelus spp) dan ikan kerapu macan yang memiliki nama ilmiah Epinephelus fuscogutattus. Kedua jenis ikan inilah yang sudah dapat dibudidayakan di Indonesia dari genus Epinephelus. Kerapu lumpur mempunyai warna dasar hitam berbintik-bintik sehingga disebut juga kerapu hitam. Bentuk tubuh memanjang Bagian kepala dan punggung berwarna gelap kehitaman, sedangkanperut berwarna keputihan. seluruh tubuhnya dipenuhi bintik-bintik kasar berwarna kecokelatan atau kemerahan. Spesies ini paling banyak dibudidayakan karena laju pertumbuhannya yang cepat dan benih relatif lebih banyak ditemukan. Daerah habitat banyak ditemukan di Teluk Banten, Segara Anakan, Kep. Seribu, Lampung, dan daerah muara sungai.
Kerapu macan termasuk kelompok ikan kerapu yang berharga tinggi. Jenis kerapu ini merupakan ikan asli Indonesia yang hidup tersebar di berbagai perairan berkarang di Nusantara. Selain di Indonesia, daerah penyebaran kerapu macan meliputi perairan di wilayah Indo-Pasifik. Bentuk ujung sirip ekor, sirip dada, dan sirip dubur ikan berupa busur. Kepala dan badannya berwarna abu-abu pucat kehijauan atau kecokelatan. Badan dipenuhi dengan bintik-bintik gelap berwarna jingga kemerahan atau coklat gelap. Bintik-bintik di bagian tengah lebih gelap dibanding yang di pinggir. Ukuran bintik semakin mengecil ke arah mulut. Adapun punggung dan pangkal sirip punggung ikan terdapat bercak besar kehitaman.
Dalam pembudidayaan ikan kerapu di atas perlu diperhatikan hal-hal berikut agar pembudidayaan dapat berhasil, yaitu :
1. Terlindung dari gelombang besar dan badai, sebab ikan mudah menjadi stres dan menurunkan selera makan apabila terus menerus dihantam gelombang,
2. Terlindung dari ancaman predator yaitu hewan buas laut (ikan butal dan ikan besar lainnya) dan burung laut,
3. Terlindung dari ancaman pencemaran buangan limbah industri, limbah pertanian dan limbah rumah tangga,
4. Terlindung dari hilir mudik lalu lintas kapal karena selain akan menimbulkan riak-riak gelombang juga buangan kapal (minyak solar dll) akan mencemari area pemeliharaan








Penerapan budidaya udang windu teknologi intensif melalui cara budidaya yang baik (CBIB) di Takalar




RISET PENGEMBANGAN BUDIDAYA AIR PAYAU


Penerapan budidaya udang windu teknologi intensif melalui cara budidaya yang baik (CBIB) di Takalar
Riset pengembangan budidaya udang windu intensif dengan penerapan cara budidaya yang baik diharapkan dapat memenuhi kebutuhan komoditas ekspor sesuai dengan code of conduct for responsible fisheries. Penelitian bertujuan untuk menerapkan cara budidaya udang yang baik pada budidaya udang windu secara intensif di ITP-BRPBAP di Punaga, Mangarabombang, Takalar. Penelitian ini dilakukan di instalasi tambak percobaan BRPBAP di Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang, Kab. Takalar dengan menggunakan 4 petak tambak tanah berukuran 0,4-0,5 ha yang masing-masing dilengkapi dengan dua buah kincir air. Hewan uji yang digunakan berupa tokolan udang windu PL36 sebanyak 20 ekor/m2 yang sebelumnya telah diuji dengan PCR (tidak terinfeksi WSSV). Penebaran tokolan udang dilakukan pada tanggal 6-Mei-2009. Dua petak tambak (B & C) diberi perlakuan pergiliran bakteri probiotik BT951 pada bulan I, MY1112 (II), BL542 (III), BT951 (IV); sedangkan dua petak tambak lain (A & D) tanpa diberi bakteri probiotik. Petak tambak A & B menggunakan udang windu yang ditokolkan di hatchery, sedangkan petak C & D meggunakan udang windu yang ditokolkan di tambak rakyat di Kab. Pinrang. Fermentasi probiotik (yang telah dikultur 5 hari) diberikan seminggu sekali sebanyak 20 L/petak untuk petak B dan C.
Setelah masa pemeliharaan 111 hari didapatkan, bahwa produksi dan sintasan udang windu, serta FCR terbaik didapatkan pada petak B (1.543 kg/ha; 78,99%; 2,08), diikuti oleh petak A (1.160 kg/ha; 47,58%; 2,64), petak D (827 kg/ha; 32,03%; 4,45), dan terendah pada petak C (653 kg/ha; 33,41%; 4,84). Hal ini menunjukkan, bahwa udang windu masih bisa berhasil panen bila dilakukan penerapan CBIB secara benar. Besarnya FCR diduga karena pakan yang digunakan bukan merupakan pakan udang windu intensif, melainkan hanya pakan vaname. Hal ini karena tidak tersedianya pakan udang windu intensif di Sulsel.



I. Pendahuluan
Udang merupakan jenis ikan konsumsi air payau, badan beruas berjumlah 13 (5 ruas kepala dan 8 ruas dada) dan seluruh tubuh ditutupi oleh kerangka luar yang disebut eksosketelon. Umumnya udang yang terdapat di pasaran sebagian besar terdiri dari udang laut. Hanya sebagian kecil saja yang terdiri dari udang air tawar, terutama di daerah sekitar sungai besar dan rawa dekat pantai. Udang air tawar pada umumnya termasuk dalam keluarga Palaemonidae, sehingga para ahli sering menyebutnya sebagai kelompok udang palaemonid. Udang laut, terutama dari keluarga Penaeidae, yang bisa disebut udang penaeid oleh para ahli.

Udang merupakan salah satu bahan makanan sumber protein hewani yang bermutu tinggi. Bagi Indonesia udang merupakan primadona ekspor non migas. Permintaan konsumen dunia terhadap udang rata‐rata naik 11,5% per tahun. Walaupun masih banyak kendala, namun hingga saat ini negara produsen udang yang menjadi pesaing baru ekspor udang Indonesia terus bermunculan. Budidaya udang windu di Indonesia dimulai pada awal tahun 1980-an, dan mencapai puncak produksi pada tahun 1985-1995. Sehingga pada kurun waktu tersebut udang windu merupakan penghasil devisa terbesar pada produk perikanan. Selepas tahun 1995

JENIS
Klasifikasi udang adalah sebagai berikut:
Klas : Crustacea (binatang berkulit keras)
Sub‐klas : Malacostraca (udang‐udangan tingkat tinggi)
Superordo : Eucarida
Ordo : Decapoda (binatang berkaki sepuluh)
Sub‐ordo : Natantia (kaki digunakan untuk berenang)
Famili : Palaemonidae, Penaeidae


MANFAAT
!) Udang merupakan bahan makanan yang mengandung protein tinggi, yaitu 21%, dan rendah kolesterol, karena kandungan lemaknya hanya 0,2%. Kandungan vitaminnya dalam 100 gram bahan adalah vitamin A 60 SI/100; dan vitamin B1 0,01 mg. Sedangkan kandungan mineral yang penting adalah zat kapur dan fosfor, masing-masing 136 mg dan 170 mg per 100 gram bahan.
2) Udang dapat diolah dengan beberapa cara, seperti beku, kering, kaleng, terasi, krupuk, dll. 3) Limbah pengolahan udang yang berupa jengger (daging di pangkal kepala) dapat dimanfaatkan untuk membuat pasta udang dan hidrolisat protein.
4) Limbah yang berupa kepala dan kaki udang dapat dibuat tepung udang, sebagai sumber kolesterol bagi pakan udang budidaya.
5) Limbah yang berupa kulit udang mengandung chitin 25% dan di negara maju sudah dapat dimanfaatkan dalam industri farmasi, kosmetik, bioteknologi, tekstil, kertas, pangan, dll.
6) Chitosan yang terdapat dalam kepala udang dapat dimanfaatkan dalam industri kain, karena tahan api dan dapat menambah kekuatan zat pewarna dengan sifatnya yang tidak mudah larut dalam air.


II. Teknis Budidaya

Budidaya udang windu meliputi beberapa faktor, yaitu :
2.1. Syarat Teknis

- Lokasi yang cocok untuk tambak udang yaitu pada daerah pantai yang mempunyai tanah bertekstur liat atau liat berpasir yang mudah dipadatkan sehingga mampu menahan air dan tidak mudah pecah.

- Air yang baik yaitu air payau dengan salinitas 0-33 ppt dengan suhu optimal 26 - 300C dan bebas dari pencemaran bahan kimia berbahaya.
- Mempunyai saluran air masuk/inlet dan saluran air keluar/outlet yang terpisah.
- Mudah mendapatkan sarana produksi yaitu benur, pakan, pupuk , obat-obatan dan lain-lain.
- Pada tambak yang intensif harus tersedia aliran listrik dari PLN atau mempunyai Generator sendiri.

2.2. Tipe Budidaya.
Berdasarkan letak, biaya dan operasi pelaksanaannya, tipe budidaya dibedakan menjadi :
- Tambak Ekstensif atau tradisional.
Petakan tambak biasanya di lahan pasang surut yang umumnya berupa rawa bakau. Ukuran dan bentuk petakan tidak teratur, belum meggunakan pupuk dan obat-obatan dan program pakan tidak teratur.
- Tambak Semi Intensif.
Lokasi tambak sudah pada daerah terbuka, bentuk petakan teratur tetapi masih berupa petakan yang luas (1-3 ha/petakan), padat penebaran masih rendah, penggunaan pakan buatan masih sedikit.
- Tambak Intensif.
Lokasi di daerah yang khusus untuk tambak dalam wilayah yang luas, ukuran petakan dibuat kecil untuk efisiensi pengelolaan air dan pengawasan udang, padat tebar tinggi, sudah menggunakan kincir, serta program pakan yang baik.

2.3. Benur / BIBIT
Pembibitan

2.4. Pengolahan Lahan

Pengolahan lahan, meliputi :

- Pengangkatan lumpur. Setiap budidaya pasti meninggalkan sisa budidaya yang berupa lumpur organik dari sisa pakan, kotoran udang dan dari udang yang mati. Kotoran tersebut harus dikeluarkan karena bersifat racun yang membahayakan udang. Pengeluaran lumpur dapat dilakukan dengan cara mekanis menggunakan cangkul atau penyedotan dengan pompa air/alkon.
- Pembalikan Tanah. Tanah di dasar tambak perlu dibalik dengan cara dibajak atau dicangkul untuk membebaskan gas-gas beracun (H2S dan Amoniak) yang terikat pada pertikel tanah, untuk menggemburkan tanah dan membunuh bibit panyakit karena terkena sinar matahari/ultra violet.

- Pengapuran. Bertujuan untuk menetralkan keasaman tanah dan membunuh bibit-bibit penyakit. Dilakukan dengan kapur Zeolit dan Dolomit dengan dosis masing-masing 1 ton/ha.
- Pengeringan. Setelah tanah dikapur, biarkan hingga tanah menjadi kering dan pecah-pecah, untuk membunuh bibit penyakit.

- Perlakuan pupuk TON ( Tambak Organik Nusantara ). Untuk mengembalikan kesuburan lahan serta mempercepat pertumbuhan pakan alami/plankton dan menetralkan senyawa beracun, lahan perlu diberi perlakuan TON dengan dosis 5 botol/ha untuk tambak yang masih baik atau masih baru dan 10 botol TON untuk areal tambak yang sudah rusak. Caranya masukkan sejumlah TON ke dalam air, kemudian aduk hingga larut. Siramkan secara merata ke seluruh areal lahan tambak.


2.5. Pemasukan Air
Setelah dibiarkan 3 hari, air dimasukkan ke tambak. Pemasukan air yang pertama setinggi 10-25 cm dan biarkan beberapa hari, untuk memberi kesempatan bibit-bibit plankton tumbuh setelah dipupuk dengan TON. Setelah itu air dimasukkan hingga minimal 80 cm. Perlakuan Saponen bisa dilakukan untuk membunuh ikan yang masuk ke tambak. Untuk menyuburkan plankton sebelum benur ditebar, air dikapur dengan Dolomit atau Zeolit dengan dosis 600 kg/ha.

2.6. Penebaran Benur.

Tebar benur dilakukan setelah air jadi, yaitu setelah plankton tumbuh yang ditandai dengan kecerahan air kurang lebih 30-40 cm. Penebaran benur dilakukan dengan hati-hati, karena benur masih lemah dan mudah stress pada lingkungan yang baru. Tahap penebaran benur adalah :

- Adaptasi suhu. Plastik wadah benur direndam selama 15 30 menit, agar terjadi penyesuaian suhu antara air di kolam dan di dalam plastik.
- Adaptasi udara. Plastik dibuka dan dilipat pada bagian ujungnya. Biarkan terbuka dan terapung selama 15 30 menit agar terjadi pertukaran udara dari udara bebas dengan udara dalam air di plastik.
- Adaptasi kadar garam/salinitas. Dilakukan dengan cara memercikkan air tambak ke dalam plastik selama 10 menit. Tujuannya agar terjadi percampuran air yang berbeda salinitasnya, sehingga benur dapat menyesuaikan dengan salinitas air tambak.
- Pengeluaran benur. Dilakukan dengan memasukkan sebagian ujung plastik ke air tambak. Biarkan benur keluar sendiri ke air tambak. Sisa benur yang tidak keluar sendiri, dapat dimasukkan ke tambak dengan hati-hati/perlahan.


2.7. Pemeliharaan.

Pada awal budidaya, sebaiknya di daerah penebaran benur disekat dengan waring atau hapa, untuk memudahkan pemberian pakan. Sekat tersebut dapat diperluas sesuai dengan perkembangan udang, setelah 1 minggu sekat dapat dibuka. Pada bulan pertama yang diperhatikan kualitas air harus selalu stabil. Penambahan atau pergantian air dilakukan dengan hati-hati karena udang masih rentan terhadap perubahan kondisi air yang drastis. Untuk menjaga kestabilan air, setiap penambahan air baru diberi perlakuan TON dengan dosis 1 - 2 botol TON/ha untuk menumbuhkan dan menyuburkan plankton serta menetralkan bahan-bahan beracun dari luar tambak.

Mulai umur 30 hari dilakukan sampling untuk mengetahui pekembanghan udang melalui pertambahan berat udang. Udang yang normal pada umur 30 hari sudah mencapai size (jumlah udang/kg) 250-300. Untuk selanjutnya sampling dilakukan tiap 7-10 hari sekali. Produksi bahan organik terlarut yang berasa dari kotoran dan sisa pakan sudah cukup tinggi, oleh karena itu sebaiknya air diberi perlakuan kapur Zeolit setiap beberapa hari sekali dengan dosis 400 kg/ha. Pada setiap pergantian atau penambahan air baru tetap diberi perlakuan TON.
Mulai umur 60 hari ke atas, yang harus diperhatikan adalah manajemen kualitas air dan kontrol terhadap kondisi udang. Setiap menunjukkkan kondisi air yang jelek (ditandai dengan warna keruh, kecerahan rendah) secepatnya dilakukan pergantian air dan perlakuan TON 1-2 botol/ha. Jika konsentrasi bahan organik dalam tambak yang semakin tinggi, menyebabkan kualitas air/lingkungan hidup udang juga semakin menurun, akibatnya udang mudah mengalami stres, yang ditandai dengan tidak mau makan, kotor dan diam di sudut-sudut tambak, yang dapat menyebabkan terjadinya kanibalisme.


2.8. Panen.

Udang dipanen disebabkan karena tercapainya bobot panen (panen normal) dan karena terserang penyakit (panen emergency). Panen normal biasanya dilakukan pada umur kurang lebih 120 hari, dengan size normal rata-rata 40 - 50. Sedang panen emergency dilakukan jika udang terserang penyakit yang ganas dalam skala luas (misalnya SEMBV/bintik putih). Karena jika tidak segera dipanen, udang akan habis/mati.

Udang yang dipanen dengan syarat mutu yang baik adalah yang berukuran besar, kulit keras, bersih, licin, bersinar, alat tubuh lengkap, masih hidup dan segar. Penangkapan udang pada saat panen dapat dilakukan dengan jala tebar atau jala tarik dan diambil dengan tangan. Saat panen yang baik yaitu malam atau dini hari, agar udang tidak terkena panas sinar matahari sehingga udang yang sudah mati tidak cepat menjadi merah/rusak.


III. Pakan Udang.

Pakan udang ada dua macam, yaitu pakan alami yang terdiri dari plankton, siput-siput kecil, cacing kecil, anak serangga dan detritus (sisa hewan dan tumbuhan yang membusuk). Pakan yang lain adalah pakan buatan berupa pelet. Pada budidaya yang semi intensif apalagi intensif, pakan buatan sangat diperlukan. Karena dengan padat penebaran yang tinggi, pakan alami yang ada tidak akan cukup yang mengakibatkan pertumbuhan udang terhambat dan akan timbul sifat kanibalisme udang.

Pelet udang dibedakan dengan penomoran yang berbeda sesuai dengan pertumbuhan udang yang normal.
a. Umur 1-10 hari pakan 01
b. Umur 11-15 hari campuran 01 dengan 02
c. Umur 16-30 hari pakan 02
d. Umur 30-35 campuran 02 dengan 03
e. Umur 36-50 hari pakan 03
f. Umur 51-55 campuran 03 dengan 04 atau 04S
(jika memakai 04S, diberikan hingga umur 70 hari).
g. Umur 55 hingga panen pakan 04, jika pada umur 85 hari size rata-rata mencapai 50, digunakan pakan 05 hingga panen.

Kebutuhan pakan awal untuk setiap 100.000 ekor adalah 1 kg, selanjutnya tiap 7 hari sekali ditambah 1 kg hingga umur 30 hari. Mulai umur tersebut dilakukan cek ancho dengan jumlah pakan di ancho 10% dari pakan yang diberikan. Waktu angkat ancho untuk size 1000-166 adalah 3 jam, size 166-66 adalah 2,5 jam, size 66-40 adalah 2,5 jam dan kurang dari 40 adalah 1,5 jam dari pemberian.

Untuk meningkatkan pertumbuhan udang, perlu penambahan nutrisi lengkap dalam pakan. Untuk itu, pakan harus dicampur dengan POC NASA yang mengandung mineral-mineral penting, protein, lemak dan vitamin dengan dosis 5 cc/kg pakan untuk umur dibwah 60 hari dan setelah itu 10 cc/kg pakan hingga panen



Pembibitan Udang Windu


Menyiapkan Benih (Benur)
Benur/benih Budidaya udang bisa didapat dari tempat pembenihan (Hatchery) atau dari alam.
Di alam terdapat dua macam golongan benih udang windu (benur) menurut ukurannya, yaitu :
a. Benih yang masih halus, yang disebut post larva.
Terdapat di tepi-tepi pantai. Hidupnya bersifat pelagis, yaitu berenang dekat permukaan air. Warnanya coklat kemerahan. Panjang 9-15 mm. Cucuk kepala lurus atau sedikit melengkung seperti huruf S dengan bentuk keseluruhan seperti jet. Ekornya membentang seperti kipas.
b. Benih yang sudah besar atau benih kasar yang disebut juvenil.
Biasanya telah memasuki muara sungai atau terusan. Hidupnya bersifat benthis, yaitu suka berdiam dekat dasar perairan atau kadang menempel pada benda yang terendam air. Sungutnya berbelang-belang selangseling coklat dan putih atau putih dan hijau kebiruan. Badannya berwarna biru kehijauan atau kecoklatan sampai kehitaman. Pangkal kaki renang berbelang-belang kuning biru.




Cara Penangkapan Benur:
a. Benih yang halus ditangkap dengan menggunakan alat belabar dan seser.
- Belabar adalah rangkaian memanjang dari ikatan-ikatan daun pisang kering, rumput-rumputan, merang, atau pun bahan-bahan lainnya.
- Kegiatan penangkapan dilakukan apabila air pasang.
- Belabar dipasang tegak lurus pantai, dikaitkan pada dua buah patok, sehingga terayun-ayun di permukaan air pasang.

. Benur yang baik mempunyai tingkat kehidupan (Survival Rate/SR) yang tinggi, daya adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang tinggi, berwarna tegas/tidak pucat baik hitam maupun merah, aktif bergerak, sehat dan mempunyai alat tubuh yang lengkap. Uji kualitas benur dapat dilakukan secara sederhana, yaitu letakkan sejumlah benur dalam wadah panci atau baskom yang diberi air, aduk air dengan cukup kencang selama 1-3 menit. Benur yang baik dan sehat akan tahan terhadap adukan tersebut dengan berenang melawan arus putaran air, dan setelah arus berhenti, benur tetap aktif bergerak.
- Atau hanya diikatkan pada patok di salah satu ujungnya, sedang ujung yang lain ditarik oleh si penyeser sambil dilingkarkan mendekati ujung yang terikat. Setelah lingkaran cukup kecil, penyeseran dilakukan di sekitar belabar.

b. Benih kasar ditangkapi dengan alat seser pula dengan cara langsung diseser atau dengan alat bantu rumpon-rumpon yang dibuat dari ranting pohon yang ditancapkan ke dasar perairan. Penyeseran dilakukan di sekitar rumpon.

Pembenihan secara alami dilakukan dengan cara mengalirkan air laut ke dalam tambak. Biasanya dilakukan oleh petambak tradisional. Benih udang/benur yang didapat dari pembibitan haruslah benur yang bermutu baik. Adapun sifat dan ciri benur yang bermutu baik yang didapat dari tempat pembibitan adalah:
a. Umur dan ukuran benur harus seragam.
b. Bila dikejutkan benur sehat akan melentik.
c. Benur berwarna tidak pucat.
d. Badan benur tidak bengkok dan tidak cacat.



2) Perlakuan dan Perawatan Benih
a. Cara pemeliharaan dengan sistem kolam terpisah
Pemeliharaan larva yang baik adalah dengan sistem kolam terpisah, yaitu kolam diatomae, kolam induk, dan kolam larva dipisahkan.

- Kolam Diatomae
Diatomae untuk makanan larva udang yang merupakan hasil pemupukan adalah spesies Chaetoceros, Skeletonema dan Tetraselmis di dalam kolam volume 1000-2000 liter. Spesies diatomae yang agak besar diberikan kepada larva periode mysis, walaupun lebih menyukai zooplankton.

- Kolam Induk
Kolam yang berukuran 500 liter ini berisi induk udang yang mengandung telur yang diperoleh dari laut/nelayan. Telur biasanya keluar pada malam hari. Telur yang sudah dibuahi dan sudah menetas menjadi nauplius, dipindahkan.

- Kolam Larva
Kolam larva berukuran 2.000-80.000 liter. Artemia/zooplankton diambil dari kolam diatomae dan diberikan kepada larva udang mysis dan post larva (PL5-PL6).
Artemia kering dan udang kering diberikan kepada larva periode zoa sampai (PL6). Larva periode PL5-PL6 dipindah ke petak buyaran dengan kepadatan 32-1000 ekor/m2, yang setiap kalidiberi makan artemia atau makanan buatan, kemudian PL20-PL30 benur dapat dijual atau ditebar ke dalam tambak.

margin-right: 0px; margin-top: 0px; text-align: justify;"> b. Cara Pengipukan/pendederan benur di petak pengipukan
- Petak pendederan benur merupakan sebagian dari petak pembesaran udang (± 10% dari luas petak pembesaran) yang terletak di salah satu sudutnya dengan kedalaman 30-50 cm, suhu 26-31derajat C dan kadar garam 5-25 permil.
- Petak terbuat dari daun kelapa atau daun nipah, agar benur yang masih lemah terlindung dari terik matahari atau hujan.
- Benih yang baru datang, diaklitimasikan dulu. Benih dimasukkan dalam bak plastik atau bak kayu yang diisi air yang kadar garam dan suhunya hampir sama dengan keadaan selama pengangkutan. Kemudian secara berangsur-angsur air tersebut dikeluarkan dan diganti dengan
air dari petak pendederan.
- Kepadatan pada petak Ini 1000-3000 ekor. Pakan yang diberikan berupa campuran telur ayam rebus dan daging udang atau ikan yang dihaluskan.
- Pakan tambahan berupa pellet udang yang dihaluskan. Pemberian pelet dilakukan sebanyak 10-20 % kali jumlah berat benih udang per hari dan diberikan pada sore hari. Berat benih halus ± 0,003 gram dan berat benih kasar ± 0,5-0,8 g.
- Pellet dapat terbuat dari tepung rebon 40%, dedak halus 20 %, bungkil kelapa 20 %, dan tepung kanji 20%.
- Pakan yang dipe rlukan: secangkir pakan untuk petak pengipukan/pendederan seluas 100 m2 atau untuk 100.000 ekor benur dan diberikan 3-4 kali sehari.

c. Cara Pengipukan di dalam Hapa
- Hapa adalah kotak yang dibuat dari jaring nilon dengan mata jaring 3-5 mm agar benur tidak dapat lolos.
- Hapa dipasang terendam dan tidak menyentuh dasar tambak di dalam petak-petak tambak yang pergantian airnya mudah dilakukan, dengan cara mengikatnya pada tiang-tiang yang ditancamkan di dasar petak tambak itu. Beberapa buah hapa dapat dipasang berderet-deret pada suatu petak tambak.
- Ukuran hapa dapat disesuaikan dengan kehendak, misalnya panjang 4-6 m, lebar 1-1,5 m, tinggi 0,5-1 m.
- Kepadatan benur di dalam hapa 500-1000 ekor/m2.
- Pakan benur dapat berupa kelekap atau lumut-lumut dari petakan tambak di sekitarnya. Dapat juga diberi pakan buatan berupa pelet udang yang dihancurkan dulu menjadi serbuk.
- Lama pemeliharaan benur dalam ipukan 2-4 minggu, sampai panjangnya 3-5 cm dengan persentase hidup 70-90%.
- Jaring sebagai dinding hapa harus dibersihkan seminggu sekali.
- Hapa sangat berguna bagi petani tambak, yaitu untuk tempat aklitimasi benur, atau sewaktu-waktu dipergunakan menampung ikan atau udang yang dikehendaki agar tetap hidup.

d. Cara pengangkutan:
Pengangkutan menggunakan kantong plastik:
- Kantong plastik yang berukuran panjang 40 cm, lebar 35 cm, dan tebal ,008 mm, diisi air 1/3 bagian dan diisi benih 1000 ekor.
- Kantong plastik diberi zat asam sampai menggelembung dan diikat dengan tali.
- Kantong plastik tersebut dimasukkan dalam kotak kardus yang diberi styrofore foam sebagai penahan panas dan kantong plastik kecil yang berisi pecahan-pecahan es kecil yang jumlahnya 10% dari berat airnya.
- Benih dapat diangkut pada suhu 27-30 derajat C selama 10 jam perjalanan dengan angka kematian 10-20%.

Pengangkutan dengan menggunakan jerigen plastik:
- Jerigen yang digunakan yang berukuran 20 liter.
- Jerigen diisi air setengah bagiannya dan sebagian lagi diisi zat asam bertekanan lebih.
- Jumlah benih yang dapat diangkut antara 500-700 ekor/liter. Selama 6-8 jam perjalanan, angka kematiannya sekitar 6%.
- Dalam perjalanan jerigen harus ditidurkan, agar permukaannya menjadi luas, sehingga benurnya tidak bertumpuk.
- Untuk menurunkan suhunya bisa menggunakan es batu.

e. Waktu Penebaran Benur
Sebaiknya benur ditebar di tambak pada waktu yang teduh
PENYAKIT UDANG
Pada Budidaya Udang Windu


Penyakit pada Budidaya Udang Windu

Beberapa penyakit yang sering menyerang udang adalah ;
1. Bintik Putih. Penyakit inilah yang menjadi penyebab sebagian besar kegagalan budidaya udang. Disebabkan oleh infeksi virus SEMBV (Systemic Ectodermal Mesodermal Baculo Virus). Serangannya sangat cepat, dalam beberapa jam saja seluruh populasi udang dalam satu kolam dapat mati. Gejalanya : jika udang masih hidup, berenang tidak teratur di permukaan dan jika menabrak tanggul langsung mati, adanya bintik putih di cangkang (Carapace), sangat peka terhadap perubahan lingkungan. Virus dapat berkembang biak dan menyebar lewat inang, yaitu kepiting dan udang liar, terutama udang putih. Belum ada obat untuk penyakit ini, cara mengatasinya adalah dengan diusahakan agar tidak ada kepiting dan udang-udang liar masuk ke kolam budidaya. Kestabilan ekosistem tambak juga harus dijaga agar udang tidak stress dan daya tahan tinggi. Sehingga walaupun telah terinfeksi virus, udang tetap mampu hidup sampai cukup besar untuk dipanen. Untuk menjaga kestabilan ekosistem tambak tersebut tambak perlu dipupuk dengan TON.s
2. Bintik Hitam/Black Spot. Disebabkan oleh virus Monodon Baculo Virus (MBV). Tanda yang nampak yaitu terdapat bintik-bintik hitam di cangkang dan biasanya diikuti dengan infeksi bakteri, sehingga gejala lain yang tampak yaitu adanya kerusakan alat tubuh udang. Cara mencegah : dengan selalu menjaga kualitas air dan kebersihan dasar tambak.
3. Kotoran Putih/mencret. Disebabkan oleh tingginya konsentrasi kotoran dan gas amoniak dalam tambak. Gejala : mudah dilihat, yaitu adanya kotoran putih di daerah pojok tambak (sesuai arah angin), juga diikuti dengan penurunan nafsu makan sehingga dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kematian. Cara mencegah : jaga kualitas air dan dilakukan pengeluaran kotoran dasar tambak/siphon secara rutin.

4. Insang Merah. Ditandai dengan terbentuknya warna merah pada insang. Disebabkan tingginya keasaman air tambak, sehingga cara mengatasinya dengan penebaran kapur pada kolam budidaya. Pengolahan lahan juga harus ditingkatkan kualitasnya.

5. Nekrosis. Disebabkan oleh tingginya konsentrasi bakteri dalam air tambak. Gejala yang nampak yaitu adanya kerusakan/luka yang berwarna hitam pada alat tubuh, terutama pada ekor. Cara mengatasinya adalah dengan penggantian air sebanyak-banyaknya ditambah perlakuan TON 1-2 botol/ha, sedangkan pada udang dirangsang untuk segera melakukan ganti kulit (Molting) dengan pemberian saponen atau dengan pengapuran.
Penyakit pada udang sebagian besar disebabkan oleh penurunan kualitas kolam budidaya. Oleh karena itu perlakuan TON sangat diperlukan baik pada saat pengolahan lahan maupun saat pemasukan air baru.
Penyakit Vibriosis pada Udang

Penyebab : Vibrio harveyii, V. alginolyticus, V. parahaemolyticus. dll.


Bio – Ekologi Patogen

• Vibriosis pada larva udang umumnya sebagai penginfeksi sekunder terutama pada saat dalam keadaan stress dan lemah.

• Infeksi bakteri ini biasanya berkaitan dengan kondisi stress akibat: kepadatan tinggi, malnutrisi, penanganan yang kurang baik. infeksi parasit, bahan organik tinggi, oksigen rendah. kualitas air yang buruk. fluktuasi suhu air yang ekstrim. dll.
• Serangan bersifat akut, dan apabila kondisi lingkungan terus merosot, kematian yang ditimbulkannya bisa mencapai 100%. terutama pada stadia post larva atau juvenil.

Gejala klinis :
• Tubuh udang nampak kusam dan kotor.
• Nafsu makan menurun, kerusakan pada kaki dan insang, atau insang berwarna kecoklatan.
• Jenis bakteri Vibrio spp. yang berpendar umumnya menyerang larva udang dan penyakitnya disebut penyakit udang berpendar (luminescent vibriosis).
• Udang yang terserang menunjukkan gejala nekrosis, kondisi tubuh lemah, berenang lambat, nafsu makan hilang, bercak merah (red discoloration) pada pleopod dan abdominal serta pada malam hari terlihat menyala
• Udang yang terkena vibriosis akan menunjukkan bagian kaki renang (pleopoda) dan kaki jalan (pereiopoda) menunjukkan melanisasi.
• Udang yang sekarat sering berenang ke permukaan atau pinggir pematang tambak.

Diagnosa :
• Isolasi dan identifikasi bakteri melalui uji bio-kimia.

Pengendalian :
• Desinfeksi sarana budidaya sebelum dan selama proses pemeliharaan udang
• Pemberian unsur immunostimulan (misalnya penambahan
vitamin C pada pakan) secara rutin selama pemeliharaan
• Menghindari terjadinya stress (fisik, kimia, biologi)
• Pengelolaan kesehatan udang secara terpadu