B.LARANGAN EKSPOR

Sebagai salah satu komoditas strategis di Indonesia, Industri gula nasional kini mendapat perlindungan dan dukungan yang cukup memadai dari pemerintah Indonesia. Kebijakan- kebijakan tersebut antara lain mencakup kebijakan tarif impor, kebijakan tataniaga impor, dan dukungan terhadap program akselerasi pergulaan nasional. Untuk tarif impor, pemerintah tetap mempertahankan kebijakan tarif impor gula sebesar Rp 700/kg. Kebijakan tataniaga impor membatasi membatasi jumlah importir yaitu hanya importir produsen dan importir terdaftar. Untuk program akselerasi, pemerintah menyediakan dana sekitar Rp 65miliar untuk tahun 2003. Dari tiga kebijakan tersebut, kebijakan tataniaga impor yang tertuang dalam Kepmenperindag No. 43/MPP/Kep/9/2002, tertanggal 23 September 2002 merupakan kebijakan yang paling mendapat sorotan. Esensi dari kebijakan ini, disamping membatasi pelaku importir yaitu hanya importir produsen dan importir terdaftar impor dapat dilakukan bila harga di tingkat petani adalah minimal Rp 3100/kg. Kebijakan yang pada dasarnya membatasi penawaran gula impor diharapkan dapat memberi dorongan pertumbuhan industry gula serta peningkatan dan sekaligus stabilitas pendapatan petani tebu. Evaluasi sementara menunjukkan bahwa kebijakan tersebut cukup efektif dalam mencapai sasarannya. Kebijakan tersebut secara langsung telah meningkatkan harga gula ditingkat petani. Kalau sebelum kebijakan tersebut diterapkan harga di tingkat petani jarang diatas Rp 3100/kg; setelah kebijakan tersebut diterapkan harga di tingkat petani umumnya diatas nilai tersebut, bahkan sering sudah mendekati Rp 3500/kg. Hasil analisis menunjukkan bahwa dalam jangka panjang kebijakan tersebut akan mendorong perluasan areal tebu secara nasional sekitar 8.21% lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa kebijakan tersebut. Hal yang sama berlaku juga terhadap produksi yang diperkirakan akan menjadi sekitar 7.23% lebih tinggi bila dibandingkan dengan tanpa kebijakan tersebut. Kebijakan tersebut diperkirakan menyebabkan impor menjadi lebih rendah sekitar 7.35%. Di balik dampak positifnya, kebijakan tersebut mempunyai sisi-sisi kelemahan. Seperti disebutkan oleh Erwidodo (2003), kebijakan tersebut dapat menciptakan strukur pasar yang mengarah pada pasar monopolistik bila terbentuk sejenis kartel, mengingat jumlah importir terdaftar sampai saat ini hanya empat importir. Oleh beberapa kalangan, situsi ini dinilai telah melanggar UU Persaingan Usaha. Kedua, kebijakan ini akan menyuburkan prilaku pemburu rente ekonomi. Lonjakan harga gula di dalam negeri yang pernah terjadi pada periode Januari- April 2003, merupakan indiaktor dari kelemahan kebijakan tersebut. Salah satu alterantif kebijakan untuk mengatasi masalah tersebut adalah mencari alternatif kebijakan impor gula yang lebih tepat. Terkait dengan upaya ini, tariff-rate quota(TRQ) dapat menjadi salah satu alternatif untuk di pertimbangkan. Kebijakan TRQ pada dasarnya mengenakan tarif rendah sampai dengan volume impor tertentu. Di atas volume impor tesebut, tarif impor yang dikenakan biasanya jauh lebih tinggi (tarif tinggi). Beberapa negara telah menerapkan kebijakan tersebut sebagai bentuk kompromi untuk melindungi industri gula dalam negeri dan konsemen, termasuk industri yang menggunakan gula sebagai bahan baku. Kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang paling banyak diterapkan oleh negara-negara yang berperan penting dalam perdagangan gula, seperti EropaBarat, Amerika, dan China. Di samping itu, kebijakan ini masih sejalan dengan komitmen yang berkaitan dengan WTO. Sebagai ilustrasi dapat dilihat bagaimana Amerika menggunakan TRQ untuk mengandalikan pasokan gula di pasar domestick. Untuk volume impor sampai dengan 1.3 juta ton pada tahun 2003 (berubah-ubah tiap tahun), Amerika mengenakan tarif impor sebesar US$c 0.625/pound. Di atas volume tersebut, tarif impor yang dikenakan adalah US$c15.36/pound. Implikasi dari kebijakan ini adalah bahwa Amerika secara tidak langsung membatasi impor hanya sampai dengan 1.3 juta ton untuk tahun 2003. Kebijakan ini terbukti efektif untuk mengendalikan pasokan gula di pasar dalam negeri Amerika. Salah satu kelebihan TRQ dibandingkan dengan kebijakan tata niaga impor adalah bahwa TRQ tidak perlu membatasi pelaku impor, sehingga TRQ diharapkan dapat menciptakan persiangan yang sehat dan tidak menyalahi UU Persaingan Usaha. Yang perlu dibatasi atau dihitung secara cermat adalah adalah batas volume impor yang dikenakan tariff rendah.Untuk Indonesia, volume TRQ dapat ditentukan dengan memperhatikan kemampuan produksi gula secara nasional dan ditetapkan setiap tahun.Sebagai contoh,Untuk 3-5 tahun mendatang, TRQ sekitar 1.5 jua ton dapat menjadi salah satu pilihan. Tingkat tarif impor rendah dan tarif impor tinggi perlu mempertimbangkan beberapa aspek/faktor pergulaan nasional, terutama yang berkaitan dengan aspek sosial dan ekonomi. Untuk tarif rendah, beberapa faktor penting yang perlu dipertimbangkan antara lain target harga yang wajar untuk petani dan konsumen dan kecendrungan perkembangan harga dipasar internasional. Makin tinggi target harga di tingkat petani, makin tinggi tingkat tariff rendah. Di sisi lain, tarif impor tinggi seyogyanya mampu melindungi pasar domestik dari lonjakan impor sebagai akibat harga gula di pasar internasional yang sangat distortif. Untuk Indonesia, tarif impor tngigi yang dapat diterapka adalah 95%, sesuai dengan komitmen yang tertuang dalam Putaran Uruguay

0 komentar