Klasifikasi tanah

Klasifikasi tanah

Klasifikasi tanah memiliki berbagai versi. Terdapat kesulitan teknis dalam melakukan klasifikasi untuk tanah karena banyak hal yang memengaruhi pembentukan tanah. Selain itu, tanah adalah benda yang dinamis sehingga selalu mengalami proses perubahan. Tanah terbentuk dari batuan yang aus/lapuk akibat terpapar oleh dinamika di lapisan bawah atmosfer, seperti dinamika iklim, topografi/geografi, dan aktivitas organisme biologi. Intensitas dan selang waktu dari berbagai faktor ini juga berakibat pada variasi tampilan tanah.
Dalam melakukan klasifikasi tanah para ahli pertama kali melakukannya berdasarkan ciri fisika dan kimia, serta dengan melihat lapisan-lapisan yang membentuk profil tanah. Selanjutnya, setelah teknologi jauh berkembang para ahli juga melihat aspek batuan dasar yang membentuk tanah serta proses pelapukan batuan yang kemudian memberikan ciri-ciri khas tertentu pada tanah yang terbentuk.
Berdasarkan kriteria itu, ditemukan banyak sekali jenis tanah di dunia. Untuk memudahkannya, seringkali para ahli melakukan klasifikasi secara lokal. Untuk Indonesia misalnya dikenal sistem klasifikasi Dudal-Soepraptohardjo (1957-1961)[1] yang masih dirujuk hingga saat ini di Indonesia untuk kepentingan pertanian, khususnya dalam versi yang dimodifikasi oleh Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimatologi (Puslittanak) pada tahun 1978 dan 1982.



Pada tahun 1975 dirilis sistem klasifikasi USDA (Departemen Pertanian AS). Sistem ini dibuat karena sistem-sistem klasifikasi lama saling tumpang tindih dalam penamaan akibat perbedaan kriteria. Dalam pemakaiannya, sistem USDA memberikan kriteria yang jelas dibandingkan sistem klasifikasi lain, sehingga sistem USDA ini biasa disertakan dalam pengklasifikasian tanah untuk mendampingi penamaan berdasarkan sistem FAO atau PPT (Pusat Penelitian Tanah). Kelemahan dari sistem ini, khususnya untuk negara berkembang, adalah kriterianya yang sangat mendasarkan pada analisis laboratorium yang rinci, sehingga para praktisi sulit untuk mendefinisikan langsung di lapangan. Walaupun demikian, sistem USDA sangat membantu karena memakai sistem penamaan yang konsisten.
Untuk komunikasi di antara para ahli tanah dunia, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) telah mengembangkan sistem klasifikasi tanah pula sejak 1974. Pada tahun 1998 kemudian disepakati dipakainya sistem klasifikasi WRB dari World Reference Base for Soil Resources, suatu proyek bentukan FAO, untuk menggantikan sistem ini. Versi terbaru dari sistem WRB dirilis pada tahun 2007.
Sifat morfologi tanah adalah sifat tanah yang dapat diamati dan dipelajari dilapangan. Sebagian sifat morfologi tanah merupakan sifat-sifat fisik dari tanah tersebut. Sifat fisik tanah yang berpengaruh pada kegiatan pertanian antra lain tekstur, struktur, konsistensi, kapasitas memegang air, kapasitas infiltrasi, permeabilitas, drainase, kedalaman efektif, dsb. Faktor tanah yang penting adalah kandungan hara yang tersedia makro dan mikro, pH tanah, kandungan bahan organik, kapasitas tukar kation, kadar bahan beracun (misal: Fe, Al-dd) dsb. Sedangkan bahan biologi yang penting adalah jumlah dan aktivitas organisne di dalam tanah. Tindakan-tindakan terhadap tanah umumnya ditunjukkan untuk menambah dan menjamin keseimbangan hara bagi tanaman, mencegah keracunan, kehilangan, dan kerusakan serta memanipulasi kondisi lingkungan hingga sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangan taaman dan hewan.
Dalam pengelolaan pertanian pemanfaatan maksimal faktor-faktor tersebut harus memperhatikan untuk menjaga produktivitas dan kegunaan tanah secara lestari.
Berdasarkan sifat morfologi tersebut, tanah dapat dibedakan ke dalam profil-profil tanah sesuai sifat morfologinya. Profil Tanah adalah irisan vertikal tanah dari lapisan paling atas hingga ke batuan induk tanah. Profil dari tanah yang berkembang lanjut biasanya memiliki horison-horison sbb: O –A – E – B – C – R. Solum Tanah terdiri dari: O – A – E – B. Lapisan Tanah Atas meliputi: O – A. Lapisan Tanah Bawah: E – B. Keterangan: O : Serasah / sisa-sisa tanaman (Oi) dan bahan organik tanah (BOT) hasil dekomposisi serasah (Oa) A : Horison mineral ber BOT tinggi sehingga berwarna agak gelap. E : Horison mineral yang telah tereluviasi (tercuci) sehingga kadar (BOT, liat silikat, Fe dan Al) rendah tetapi pasir dan debu kuarsa (seskuoksida) dan mineral resisten lainnya tinggi, berwarna terang.
B : Horison illuvial atau horison tempat terakumulasinya bahan-bahan yang tercuci dari harison diatasnya (akumulasi bahan eluvial). C : Lapisan yang bahan penyusunnya masih sama dengan bahan induk (R) atau belum terjadi perubahan. R:Bahan Induk tanah.
Tanah latosol yaitu tanah yang banyak mengandung zat besi dan aluminium. Tanah ini sudah sangat tua, sehingga kesuburannya rendah. Warns tanahnya merah hingga kuning, sehingga sering disebut tanah merah. Tanah latosol yang mempunyai sifat cepat mengeras bila tersing kap atau berada di udara terbuka disebut tanah laterit.Tanah latosol tersebar di Sumatra Utara, Sumatra Barat, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, JawaTimur, Bali, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.


Tanah dengan kadar liat lebih dari 60 %, remah sampai gumpal, gembur, warna tanah seragam dengan dengan batas-batas horison yang kabur, solum dalam (lebih dari 150 cm), kejenuhan basa kurang dari 50 %, umumnya mempunyai epipedon kambrik dan horison kambik. Tumbuhan yang dapat hidup di tanah latosol adalah padi, palawija, sayuran, buah-buahan, karet, sisal, cengkih, kakao, kopi, dan kelapa sawit.
Andosol adalah tanah yang berbahan induk abu volkan, merupakan tanah yang relative muda dibandingkan latosol dan podsolik, yang sifat-sifatnya sangat ditentukan oleh mineral liat yang dikandungnya yaitu alofan yang bersifat amorf. Tanah ini mempunyai horizon A1 tebal yang berwarna hitam karena kaya bahan organic, tetapi tidak mempunyai horizon A2, dengan horizon B berwarna kuning pucat, coklat kekuningan atau coklat diikuti dengan endapan abu volkan terlapuk sampai ke horizon C. umumnya mempunyai kejenuhan basa relative rendah tetapi mempunyai Al dapat ditukar relative tinggi. Terbawa oleh sifat mineral liat dominan yang dimilikinya maka andosol mempunyai sifat tiksotrofik, mempunyai kemampuan megikat air besar, porositas tinggi, bobot isi rendah, gembur, tidak plastis, dan tidak lengket serta kemampuan fiksasi fosfat yang tinggi.
Tanah podsolik adalah tanah yang mempunyai solum agak tebal (1-2 m), warna tanah merah hingga kuning, batas horizon nyata, tekstur beragam , struktur gumpal pada horizon B, konsistensi teguh samapi gembur. Tanah podsolik merupakan tanah yang mempunyai horizon B argilik, kejenuhan bas kurang dari 50% sejurang-kurangnya horizon B didalam penampung 125 cm dari permukaan. Adanya horizon argilik menunjukkan proses pembentukan tanah podsolik yang utama adalah liksiviasi (pencucian tanah).

Sedangkan tanah latosol adalah tanah bersolum dalam, mengalami pencucian dan pelapukan lanjut, berbatas horizon baur, kandungan mineral primer dan unsure hara rendah, konsistensi gembur dengan stabilitas agregat kuat dan terjadi penumpukan relative seskwioksida di dalam tanah akibat pencucian silikat. Warna tanah merah, coklat kemerahan, coklat, coklat kekuningan atau kuning tergantung bahan induk. Warna batuan, iklim dan letak ketinggian. Di Indonesia ditetukan terutam di daerah volkanik baik berasal dari tufa maupun batuan beku.
Morfologi tanah di Darmaga (Cikabayan dan belakang asrama puteri Instititut Pertanian Bogor), dan di Sukamantri, Bogor. Dalam pengamatan dan data yang diperoleh, masing-masing tanah dapat dibedakan berdasarkan ciri morfologinya. Secara keseluruhan, Tanah di Darmaga (Bogor) mempunyai warna yang lebih cerah dibandingkan tanah di Sukamantri. Selain itu, berdasarkan ciri fisik, kimia, dan biologi, tanah di Darmaga digologkan dalam tanah latosol. Sedangkan tanah tanah di Sukamantri digolongkan tanah andosol. Perbedaan lainnya yaitu horizon tanah latosol Darmaga baur (susah dibedakan horizonnya), Sedangkan tanah di Sukamantri relative lebih mudah. Data lain menunjukkan bahwa tanah di Sukamantri ini mengalami pencucian yang cukup intensif, pencucian intensif dapat menyebabkan tanah ini berkembang menjadi tanah podsolik.
Perbedaan lain yang dapat dilihat yaitu vegetasi yang tumbuh pada masing-masing lahan berbeda-beda. Vegetasi pada lahan di Dramaga terlihat lebih dominan tanaman tahunan, diantaranya jati dan kelapa sawit. Sedangkan lahan di Sukamantri mayoritas vegetasinya tanaman musiman, yakni sayur-sayuran.

0 komentar