Merajut Benang Cinta Di Tepi Pantai Manakarra

Penulis-Bulukumba (Pb)
Afar Paturusi
Novelis, Penyair, Aktor dan dramawan. Karya-karyanya antara lain berupa kumpulan puisi Tonggak III, Antologi penyair Indonesia (1985), Sukma Laut (1985), Ombak Losari (1992), Ombak Makassar (1999), Apa Kuasa Hujan (2003), Badik (2011) . 1992,Aktor Terbaik Festival Sinetron Indonesia . Film Badik Titipan Ayah (2010) dan puluhan karya lainnya.

======================================================================================
“Cerpen”

Merajut Benang Cinta Di Tepi Pantai Manakarra
Oleh : Hasbullah Said.-

            AKU masih berada di dermaga ini. Di tepi pantai Manakarra Mamuju Sulbar. Untuk kali pertama aku berkunjung kesini. Pesona alamnya sangat memikat hatiku. Desiran ombak gemulai menepis tepian pantai, mengingatkan padaku pantai Losari Makassar, yang membujur dari selatan kearah utara kota, seolah melantunkan tembang asmara begitu syahdu di pendengaranku.
            Tapi aku jujur, pantai Manakarra disini, jauh lebih cantik dan eksotis, dibanding dengan pantai Losari, karena bentangannya, lebih panjang sehingga mata sebebas-bebasnya memandang ketengah laut selat Makassar, tanpa ada sesuatu yang merintanginya.
            Keberadaanku disini sedang mengamati kapal yang akan sandar di pelabuhan, menunggu kedatangan seseorang dari Balikpapan Kalimantan Timur. Dengan sabar hati aku menunggunya. Siapa tau kapal yang ditumpanginya itu lebih awal tiba dari jadwal semula.
            Jemput aku sebentar sore di dermaga Manakarra, begitu pintanya padaku lewat ponselnya. Walau kedatanganku di Mamuju sini hanya secara kebetulan saja, menghadiri pertemuan sebuah organisasi profesi penulis sastra. Karena aku mengabarinya mengatakan bahwa aku sedang berada di Mamuju, maka ia meminta agar aku sudi menjemputnya.
Matahari senja menebarkan cahayanya kuning jingga diatas bentangan laut selat Makassar, membuat suasana pantai Manakarra semakin cantik indah  mempesona. Dan bola emas itu perlahan lamban, tapi  pasti sebentar dia menceburkan dirinya menuju peraduannya di balik dasar laut selat Makassar. 
   Ah, kapal belum juga tiba dari seberang. Keluhku dengan suara sumbang tipis terdengar mengalun bersama hembusan angin pantai Manakarra yang begitu lembut lagi sejuk mengelus ari kulit tubuhku.
“Mungkin sebentar lagi, karena biasanya seusai shalat mahgrib kapal dari Balikpapan baru sandar di dermaga.” Sela seorang cewek manis yang mengenakan jilbab duduk di sampingku dengan nada sangat lembut lagi ramah.
“Oh, begitu?”
“Apakah juga kamu menunggu kedatangan seseorang, sama seperti aku?”
“Ya.” jawabnya pendek disertai anggukan kepala.
“Kalau boleh aku tau, yang ditunggu itu siapa?” tanyaku.
“Ibuku, dari Balikpapan.”
“Kalau begitu kita sama-sama menunggu, tapi aku tunggu bukan ibuku, temanku, bernama Riyan.”
Perempuan itu diam tak menyahuti ujarku. Ia diam seraya menatap laut yang tengah kemerah-merahan tertimpa cahaya matahari senja yang tak lama lagi dilumat oleh gelapnya malam. Kami diam bersama dengan balutan kejenuhan hati dalam penantian lama kedatangan kapal.
“Aii,....semua kapal dari seberang tak jadi sandar di dermaga, karena tak diperkenankan oleh syahbandar. Cuaca buruk katanya. Gelombang laut di perairan laut selat Makassar di bulan Desember mencapai ketinggian berkisar antara tiga hingga empat meter, sehingga rawan terjadi kecelakaan bagi semua kapal yang melintas.” ujar salah seorang lelaki paruh baya di dekat kami, yang juga sedang menjemput keluarganya dari Balikpapan. Aku resah mendengar ucapnya.
“Ooo,....begitukah Pak, dimana Bapak tau?” tanyaku resah.
“Baru-baru ini saya tanyakan kepada petugas pelabuhan melalui ponselku.” jawabnya dengan degup napas penyesalan tersembul dari balik dadanya yang tipis.
“Baiklah, apa boleh buat Pak, terima kasih informasinya.”
“Kalau begitu kita pulang saja. Mudah-mudahan besok sore cuaca sudah membaik.” Sela gadis itu di sampingku, seolah mengajakku pulang bersamanya.
“Oh, baiklah, nanti besok sore sajalah kita datang kesini lagi.”
“Ya.” balasnya hendak bergegas pergi meninggalkan dermaga pantai Manakarra.
“Heii,.....cewek,.....tunggu dulu sebentar!” panggilku setengah berteriak ketika ia perlahan membelakangiku hendak mengayunkan langkahnya.
“Ada apa?” tanyanya seraya menoleh kearahku.
“Boleh nggak kita kenalan? Kita sudah lama berbincang namun kita belum saling kenal.”
“Oh, hanya itu?” jawabnya sambil melempar senyum manis padaku. Senyum yang tersembul dari balik celah bibirnya yang mungil.
“Kenalkan, namaku Sumarni. Lengkapnya Sumarni Nainggolan. Oleh teman-temanku aku sering disapa Marni.” Dia mengenalkan namanya malu-malu sambil mengulurkan tangannya menyalamiku. Sontak aku kaget mendengar ucapnya. Degup jantungku berpacu kencang. Sebuah nama yang tak asing lagi bagiku. Tapi aku tetap tenang tak menampakkan sesuatu yang dapat membuat ia penasaran.
“Eka Budianta, Terima kasih.” kataku sambil menyambut uluran tangannya. Kusebut sebuah nama lain agar dia tidak cepat mengenaliku.
Untuk pertama kalinya aku bersua, walau sebenarnya aku sudah lama kenal dengannya lewat internet. Dia adalah staf redaksi Harian Radar Sulbar yang terbit di kota Mamuju, pengasuh pelataran sastra budaya. Dia banyak membantuku menerbitkan cerpen yang aku kirim ke redaksinya.
Aku teringat sebuah cerpen yang pernah aku kirimkan dan dimuat beberapa minggu lalu, dengan judul Dua Kerinduan Yang Membuncah. Bercerita tentang keinginan melihat langsung hasil karya tulisku yang dimuat di koran itu, sekaligus  ada kerinduan ingin bertemu muka dengan redakturnya yang baik hati bernama Sumarni. Tapi apakah benar dia Sumarni betulan yang pernah memberiku harapan dan kerinduan padanya? Mungkin nama itu kebetulan sama. Sebuah  tanya yang belum terjawab olehku.
Sesuai janjinya kemarin, sore ini dia  datang lebih awal. Ia duduk diatas  dermaga dengan tatapan kosong memandang kearah laut. Ia tengah menyaksikan sepasang burung camar terbang tinggi lalu menukik ke bawah sepertinya sedang beraksi akrobatik di atas bentangannya yang keperakan tertimpa cahaya mentari senja.
“Maaf, aku sedikit terlambat.” kataku sambil duduk di sampingnya di atas dermaga itu.
“Nggak apa-apa, santai aja, kapal pun dari seberang belum juga tiba.” katanya lembut sambil memberiku ruang duduk di sampingnya. Duduk merapat sepertinya tak ada ruang atau jarak yang memisahkanku dengannya. Sama seperti remaja lainnya yang duduk berpasangan sambil bermesraan di sisi kiri dan kanan kami.
“Ngomong-ngomong, boleh nggak aku tau, Marni kuliah atau sudah kerja?” tanyaku berpura-pura memancing dia. Sejenak ia tertunduk diam tidak secepatnya menyahuti tanyaku.
“Apakah itu perlu buat kamu?”  balik ia bertanya setelah sekian lama tertunduk diam.
“Nggak juga, tapi aku berharap agar perkenalan kita sore ini kedepannya lebih akrab lagi.”
“Aku tidak kuliah, aku sudah bekerja.”
“Kerjanya dimana?”
“Disebuah koran.”
“Koran mana?” Aku berondong pertanyaan beruntun bagai tersangka teroris yang diinterogasi oleh perwira penyidik kepolisian.
Senja telah berlalu, digantikan malam yang melahirkan remang-remang di atas dermaga pantai Manakarra. Suasananya ramai dan eksotis dipadati oleh sekian banyak pengunjungnya.
“Marni, kamu belum jawab tanyaku.” kataku mengingatkan dia setelah sekian lama aku terdiam bersamanya.
“Maksudmu?”
“Di koran mana kamu bekerja?” ulangku bertanya.
            “Harian Radar Sulbar.”
            “Boleh nggak aku bertanya lagi?”
            “Boleh aja.”
            “Seingatmu, apakah diharian Radar Sulbar pernah ada dimuat sebuah cerpen berjudul, Dua Kerinduan Yang Membuncah?”
            “Pernah, kenapa?” tanya Sumarni dengan  penasaran berat yang menggelutinya.
            “Penulisnya Diash Asmara Dhara kan?”
            “Benar, tapi ada apa dengan Diash Asmara Dhara?” Aku diam sesaat kemudian kulempar pandanganku jauh ketengah laut. Aku mendehem tipis, lalu kujawab.
            “Diash Asmara Dhara alias Eka Budianta.”
            “Ooo,....kamu ini tega hati mengerjaiku, membuat aku penasaran berat.” Katanya riang sambil menepuk pangkal lenganku. Suasana semakin akrab, setelah ia tahu aku Diash Asmara Dhara. Bagai kawan karib yang sekian lama pisah baru kali ini bersua lagi.
            Setelah ia yakin benar bahwa aku adalah Diash Asmara Dhara, maka sekilas senyum manis ia lempar menatapku lekat. Senyum bahagia di dua insan yang saling merindu. Kini kerinduan di dadaku yang membuncah selama ini, ingin sua dengannya telah tertunaikan. Hanya satu tanya yang menggamang di hatiku menunggu jawaban darinya.
            “Apakah masih ada ruang bagiku yang tersisa untuk berlabuh di dermaga hatimu?”
            Dia merunduk sepi, sesepi malam yang perlahan merangkak ke titik larutnya, dan.......sesaat kulihat ada butiran air bening bergulir perlahan mengambang di kelopak matanya. Tak kunyana, tiba-tiba sebuah untaian kata cantik terlontar lirih  keluar dari celah bibirnya yang mungil menyahuti tanyaku.
            “Di dermaga hatiku masih lowong untuk sandar kapal cinta dari Makassar.” ucapnya lembut dengan lantunan nada yang sangat puitis sembari menyeka air matanya dengan selembar tissu.
            “Terima kasih, terima kasih dik Marni.” kataku haru sambil mengelus kepalanya yang terbungkus  rapi dengan jilbab berwarna pink.
Malam perlahan-lahan menggamit larutnya.  Aku dan Sumarni semakin larut pula da-
lam dekapan nuansa asmara merindu yang baru saja kuraih bersamanya.
            Sesaat kemudian, seruling kapal terdengar membahana memecah keheningan malam, pertanda kapal dari Balikpapan yang ditumpangi Riyan bersama bundanya, Sumarni, telah sandar dengan sempurna didermaga. Bertepatan kedatangan kapal cinta dari Makassar sandar di hati Sumarni. “Selamat datang,” kataku sambil menyalami bundanya bersama Riyan sahabatku yang baru saja turun dari atas kapal.
            Aku melangkah perlahan bersama Riyan meninggalkan dermaga Manakarra dengan sebuah harapan, semoga cinta yang kuraih dari Sumarni kekal abadi untuk selama-lamanya, semogalah! (*)

                                                                                                         Makassar, 01 Agustus 2011

0 komentar