Ramadhan "58 Tahun silam" di Bulukumba

Penulis-Bulukumba (Pb)

Oleh: Asfar Paturusi

Bulukumba, sudah pasti akan selalu langsung menarik bila nama ini disebutkan di TV atau ditulis di koran. Sebagaimana dengan putra Bulukumba yang lain, saya juga selalu bangga padanya. Secara fisik dari lahir hingga usia 14 tahun saya berada di kampung halaman saya ini (Bulukumba). Selebihnya saya pindah sekolah di Pangkep selama 2 tahun. Lalu pindah ke Makassar.  Aktif dalam kegiatan kesenian khususnya teater dan sastra. Aktif berorganisasi dan bekerja sebagai wartawan pada berbagai penerbitan harian dan mingguan.
Mulai masuk Sekolah Rakyat (sekarang SD) sampai kelas 4 di SR Tana Kongkong (Bulukumba) – sekolah ini tak berbekas lagi-, setelahnya,  pindah ke SR no. 2, Ke sekolah berjalan kaki. Nanti kelas 5 baru saya memakai sepatu. Tapi bagi saya biasa saja. Bersepatu atau tidak sama saja. Kalau ke mesjid untuk tarawih juga tak bersandal. Tentu kalau masuk mesjid, kaki harus dicuci bersih-bersih.
Begitulah, bulan ramadhan adalah bulan istimewa juga bagi kami kami, anak-anak atau murid sekolah, karena kami akan libur selama sebulan lebih. Kegiatan kami bermain dengan sejumlah permainan: gasing, kelereng, domino, perlangko (petak umpet). Permainan paling utama adalah bermain bola di siang hari dalam keadaan tetap berpuasa. Selesai bermain bola, kami berloncatan ke sungai Teko dekat lapangan bola di sekolah Muallimin, tanpa pendinginan lebih dulu. Saya sudah lupa apakah kalau berenang air sungai tertelan atau tidak.. Saya tak sempat memikirkannya. Kami melakukan semua permainan itu dengan penuh keriangan. Tak merasa capek. Kami merasa anak muda yang berbahagia.
Setelah sudah bisa bersepeda, menjelang buka, saya paling suka bersepeda ke tepi  kampung. Di sekitar persawahan sambil menikmati cahaya matahari yang perlahan mulai meredup. Saat itu segera saya pulang. Tiba di rumah pas bedug ditabuh atau azan di radio berkumandang.

Biasa juga kami shalat magrib berjamaah di Mesjid Raya. Saat itu lagi giat-giatnya dibangun. Setelah buka puasa dan shalat magrib, kami pulang dulu makan malam di rumah. Lalu kembali ke mesjid lagi untuk  tarawih. Sambil menunggu waktu shalat kami biasanya bermain guling-gulingan di gundukan pasir.  Kami tidak peduli dengan baju atau sarung dikotori pasir.
Peristiwa yang tak terlupakan adalah ketika buka puasa bersama di mesjid. Kami, anak-anak, juga kebagian kue dan minuman. Biasanya kue cukup banyak. Kiriman dari rumah-rumah dekat mesjid. Pada suatu hari itu, teman-teman menyaksikan Pak Doja (pengurus mesjid) menyembunyikan kue di bawah tikar. Saya sudah lupa siapa namanya, kejadian itu sekitar 58 tahun lalu,  teman lain mengajak untuk mengambil kue itu. Tentu saja saya tidak bisa bilang jangan. Saya setuju saja. Bahkan turut tertawa-tawa senang ketika kami segera meninggalkan mesjid. Pak Doja masih turut berdoa bersama Imam dan orang dewasa lainnya. Sejak itu saya tidak pernah ikut buka puasa di mesjid lagi, takut pak Doja akan mengusir kami.
Bulan ramadhan adalah bulan yang indah bagi kami. Kegiatan bermain kami tak habis-habisnya. Semua anak-anak di Bulukumba, kota kecil yang nanti pada tahun lima puluhan menikmati listrik, sudah pasti mempunyai kenangan yang indah. Penuh kegembiraan, sekalipun pada saat itu kota sewaktu-waktu terancam serangan gerombolan DI/TII yang menguasai daerah pedalaman.
Suatu ketika bersama anak-anak lain, menunggu waktu isya dan tarawih, kami, duduk di beranda kanan mesjid. Kami sudah berpakaian bersih dan rapi. Di tepi jalan, pojok kanan halaman mesjid, ada pos polisi. Tidak tahu apa awalnya, tiba-tiba saja saya bilang, bagaimana kalau gerombolan tiba-tiba datang menyerang.? Belum selesai ucapan saya, terdengar bunyi tembakan. Terdengar teriakan keras dari arah pos.  Jamaah panik. Ada yang tiarap. Anehnya, kami hanya tenang-tenang saja duduk. Tidak lama kemudian sejumlah petugas menggeledah seluruh jamaah.  Belakangan kami ketahui seorang pertugas tertembak pahanya, dan senjata laras panjangnya dirampas oleh gerombolan. Tarawih tetap dilaksanakan. Kami juga tetap sembahyang. Pulang dengan tenang, tapi tidak penuh canda tawa lagi.
Masa kanak-kanak saya di Bulukumba, kampung halaman yang saya selalu kenangkan sampai di usia senja sekarang ini, sebenarnya sudah saya kisahkan pada novel anak-anak saya,  Kampung si Epin” dan novel “ARUS”.  Mungkin lantaran saya jauh dari kampung, maka memori saya merekam banyak hal yang indah-indah: manusianya, sawah-sawah, laut, langit birunya, bukit “Bangkeng Bukiq” dan gunung Lompobattang.  Hasil laut, makanan, dan sayur-sayuran segarnya, juga sangat menyenangkan.
Selain saya merekam kenangan lewat novel, saya tulis puisi yang berjudul “Bulukumba”:
Tak pernah aku mabuk oleh lautmu/layar-layar perahumu bagaikan selimut
biarkan angin menerjang lewat/dan dingin malam tak henti menggigit/Kurenungi sebuah negeri kelahiran/ketika sayatan-sayatan rindu semakin tajam/tidak, perantau tak selalu harus pulang/
biarkan ia tetap sibuk menjaga layar-layar/Kutahu gemuruh tekad sang pelaut/tak pernah pulang dengan kemudi patah/1988.
Demikian kenanganku padamu, Bulukumba. Kini engkau banyak berubah. Engkau mengikuti derap kemajuan zaman.
Jakarta, 2 Agustus 2011

0 komentar