PUISI DAN PUASA MENUJU ALLAH

Penulis-Bulukumba (Pb)


Opini Budaya


Oleh Mahrus Andis

Para penyair sufi mengungkapkan gelisah-rindunya, mabuk di lautan Isyk dan Hub, lewat syair-syair pujaan kepada Allah Rabbun jalil. Syair atau puisi, bagi mereka, adalah lahan kerohanian untuk menggali sedalam-dalamnya nilai ketuhanan yg ada pada diri untuk kemudian tersublimasi secara jujur melalui ekspresi bahasa hatinurani.
Eksistensi puisi ialah kejujuran. Artinya, ketika seorang penyair mengungkapkan rasa cintanya kepada Tuhan maka di saat itu pula ia mengalami suatu proses transendental dalam wilayah ketuhanan. Di sinilah hakikat penghambaan manusia tercermin lewat komunikasi yang jujur antara hamba dan khalik. Karena itu tidak sedikit para penyair sufi terdahulu berani mempertaruhkan jiwa demi sepotong syair atau puisi yang dinilainya memiliki makna transendentalisasi sebagai wujud kebersatuan komunikatif dengan Zat Yang Mahakasih.

Al  Hallaj, seorang sufi, begitu ikhlas menyerahkan lehernya dipancung oleh pemerintah Bagdad lantaran konsisten mempertahankan sepenggal syair, “Ana Al Haq” (akulah kebenaran) yang dia ungkapkan ketika dalam suasana jiwa yang mabuk di lautan Isyk dan Hub (rindu dan cinta kepada Allah SWT). Bahkan sufi yang lain, Rabiatul Adawiah, rela menerima cacian sebagai perempuan takabur dengan syair doanya: 'Ya, Rabbi, sekiranya aku menyembah-MU lantaran menginginkan surga-MU, maka biarkanlah aku memenuhi Neraka-MU agar hamba-MU yang lain tidak mendapat tempat di dalamnya'.

Syair pujangga Hamzah Fansuri pun tidak terlepas dari lantunan rindu kepada Sang Khaliq. Medium puisi bukan saja sebagai ekspresi estetis atas suatu hasil perenungan batin melainkan juga menjadi jembatan komunikasi transendental yang memberikan peluang kepada penyair untuk menikmati kejujuran rindunya kepada Tuhan.
Di sinilah terletak koherensi antara Puisi dan Puasa.
Bahwa puisi sebagai medium ekspresi ketuhanan seorang penyair maka puasa pun mengambil peran terdepan untuk membingkai rasa kedekatan antara hamba dengan Tuhannya. Betapa terasa “mendekat”-nya Allah kepada kita sehingga kita pun tidak akan pernah takut mati dalam kelaparan dan kehausan menjalankan ibadah puasa. Mengapa demikian? Karena di dalam puasa ada proses perjalanan menuju Tuhan. Sama halnya puisi dan puasa, keduanya
mengandung kejujuran dan memberontak terhadap sifat-sifat kebinatangan.
Maka ketika kita sedang puasa, itu artinya kita berada di wilayah transendental atau dalam puisi sufis disebut “mabuk” di lautan “cinta” kepada Tuhan, Zat Yang Mahakasih.

Bulukumba, 6 Agustus 2011

0 komentar