"Reuni" Penaggalan, Hijriah dan Masehi
Penulis-Bulukumba (Pb) dari Muhammad Armand Al-Faridzi
ADA yang menarik disimak dari peringatan (bukan perayaan) hari kemerdekaan dan kedatangan bulan ramadan tahun ini. Yakni pada tempus atau temponya yang laksana berjabat tangan. Dua penanggalan yang berbeda (masehi dan hijriah) bertemu pada pada sumbu (titik putar) yang sama. Keduanya berjalan bak rangkaian roda ban yang bergulir tanpa saling mendahului meski berbeda sisi. Penanggalan masehi yang bermula dari peristiwa Milladiah atau kelahiran Nabi Isa Almasih AS (sehingga disebut penaggalan masihi) bertemu dengan penanggalan Hijriah yang bermula dari peristiwa hijrah (pindah)nya Rasulullah SAW dari Mekkah ke Yatsrib (Madinah).
Penamaan bulan ini pun memiliki awal. Pada penanggalan Masehi, misalnya berturut-turut Januari dahulu Januarius; berasal dari kata Janus (malaikat bermuka 2 penjaga gerbang Roma), Februari, dahulu Februarius; berasal dari kata Februa (hari pembesihan), Maret, dahulu Martius berasal dari kata Mars (dewa perang), April, dahulu Aprilis berasal dari kata Apru (dewa asmara bangsa Etruscan), Mei, dahulu Maiusl berasal dari kata Maia (saudara tertua Atlas; kebudayaan Yunani). Kemudian Juni, dahulu Junius berasal dari kata Juno, istri Jupiter. Juli, dahulu Quintilis; kemudian diganti menjadi Julius setelah raja Julius Caesar (100-44 BCE) BCE = Before Common Era (sebelum Masehi)
Adapun, Agustus, dahulu Sextilis (bulan ke-6), kemudian diganti menjadi Augustus setelah raja Augustus (63 BCE 14 Masehi), September, tetap namanya September (bulan ke-7), Oktober, berasal dari kata yang sama, Oktober (bulan ke-8), Nopember, berasal dari kata yang sama, Nopember (bulan ke-9), Desember, berasal dari kata yang sama, Desember (bulanke-10).
Sedangkan penanggalan Hijriah awalnya berturut-turut Muharam artinya yang diharamkan berperang, Safar, artinya kosong, Rabiul awal, artinya menetap yang pertama, Rabiul akhir, artinya menetap yang terakhir, Jumadil awal, artinya kering/beku/padat yang pertama. Kemudian Jumadil akhir artinya kering/beku/padat yang terakhir,karena mereka mengami kekeringanyang terakhir kalinya. Rajab, artinya mulia karena bangsa Arab tempo dulu memuliakannya terutama tanggal 10( untuk berkurban anak unta ),tanggal 1 ( untuk membuka pintu ka’bah terus-menerus).
Syaban artinya berpencar, karena orang-orang Arab dahulu berpencar mencari air dan penghidupan, Ramadhan , artinya panas terik/ terbakar, karena pada bulan ini jazirah Arab sangat panas sehingga terik matahari dapat membakar kulit artinya pembakaran bagi dosa-dosa sebagaimana disabdakan Rasulullah Saw. Kemudian Syawal, artinya naik, Dzulqaidah ,artinya si empunya duduk, karena kaum lelaki Arab dulu, pada bulan ini hanya duduk saja di rumah tidak bepergian kemanapun, dan Dzulhijjah ,artinya si empunya haji, karena pada bulan ini sejak zaman Nabi Ibrahim as. Orang-orang biasa melakukan ibadah Haji atau ziarah ke Baitullah, Makkah.
Dua sistem penanggalan yang dari sudut ilmu perbintangan juga berbeda yakni sistem penanggalan hijriyah yang disusun berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi(qomariyah / lunar system). Sementara sistem penanggalan masehi yang merupakan salah satu penanggalan yang dibuat berdasarkan pada peredaran bumi mengelilingi matahari. Asal usul yang berbeda, bervolume masing-masing dua belas, dengan penamaan bulan yang berbeda telah dipertemukan. Inilah yang menurut saya adalah hal unik dikarekan sama-sama bergerak pada angka yang sama meski pada ujungnya bulan ini yang akan berbeda. Itu pula yang membuat penulis berhasrat menulis kata "reuni" pada judul tulisan ini.
Lalu apa alasan saya menulis judul dengan kata "reuni". Saya harus menggunakan tanda petik dikarenakan kata reuni dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBB) bermakna pertemuan kembali (bekas teman sekolah, kawan seperjuangan, dsb) setelah berpisah cukup lama. Seperti pada pemenggalan arti katanya yakni dari kata "re" yang berarti kembali dan "uni" yang berarti bersatu. Ada yang menyebut kata ini sebenarnya adalah serapan dari bahasa belanda yakni (reunie) dan ada juga yang menyebut dari bahasa inggris yakni "reunion).
Selanjutnya apa pentingnya menuliskan pertemuan dua bulan ini. Benang merahnya pada kata Ramadan dan Agustus. Dua bulan ini adalah primadona bangsa ini. Dua bulan ini pun bermakna bulan kemenangan. Pada dua bulan ini juga pada tempo yang sama terjadi terjadi pertistiwa maha dahsyad. Yakni peristiwa malam 17 Ramadan yang dikenal dengan malam diturunkannya Al-Qura (Nuzulul Quran) dan peristiwa 17 Agustus yang menjadi tonggak awal kemerdekaan Indonesia. Meski sungguh, sangat tidak bisa dibandingkan kedahsyatan turunnya Al-Quran dengan proklamasi bangsa ini.
Namun setidaknya, saya sempat teringat dengan ceramah Almahum Zainuddin MZ, Da'i sejuta umat yang saya kupingkan pada masa kecilku. Dalam satu penggal ceramahnya, almarhum menyebut agar manusia Indonesia tidak boleh sekali-sekali melupakan tiga hal dengan angka yang sama yakni "17". Yakni 17 Ramadan, 17 Rakaat, dan 17 Agustus. Dengan tegas almarhum memberikan penegasan bahwa ketiga waktu itu memiliki pertautan yang tidak bisa dipisahkan. 17 Ramadan sebagai malam lahirnya petunjuk bagi manusia sekaligus tercantum didalamnya perintah salat (17 rakaat) adalah motifator yang membuat bambu runcing mengalahkan meriam-meriam penjajah.
Bahkan dalam sebagian penggalan kalimatnya, Zainuddin menyebutkan bahwa pada saat peristiwa 17 Agustus ketika founding father bangsa ini Soekarn- Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia ada yang menyebut saat itu bertepatan dengan delapan ramadan. Perintah salat telah disebutkan dengan tegas dalam Al-Quran lengkap dengan ancaman mereka yang melalaikannya. Inilah yang disebutkan almarhum pertalian tiga 17 yang saling menopang. Terbukti dalam prembule (pembukaan) UUD NKRI tertera dengan jelas kalimat "atas berkas rahmat Allah SWT"
Dari sinilah alasan utama penuliskan kata "Reuni" penanggalan. Entah kapan penanggalan ini akan kembali terjadi. Saat peringatan hari kemerdekaan (17 Agustus) tepat bersua dengan fajar 17 Ramadan. Sirine detik-detik kemerdekaan jam sepuluh pagi adalah saat dimana umat Islam sedang menahan haus dan lapar. Indonesia lahir dengan segala tantangan dihadapannya. Disatu sisi, manusia-manusia pilihan yang menjalankan puasa dengan sempurna bersiap terlahir kembali (fitrah) saat hari kemenangan tiba.
Pada kibaran sang merah putih dan pada saat fajar mulai menyingsing pertanda saat berbuka sudah tiba, hasratku sejenak berdebat. Saat pada pagi usai pengibaran bendera, segenap pimpinan daerah, tokoh masyarakat dan pemuda membentangkan bendera. Saat pejabat menggelar acara tabur bunga pada pusara para pahlawan. Pusara mereka yang mengorbankan jiwa raganya dengan berdasar keyakinan dikunjungi mereka. Sejenak penulis menafaktilas apakah itu ritual, penghargaan atau jalan-jalan.
Mereka menaburkan bunga sambil berbicara, mereka memegang nisan para pahlawan tanpa terlihat khusu dalam doa (wallahu a'lam). Sejenak mereka disitu lalu pergi tanpa ada yang begitu berbekas. Padahal, pusara pahlawan menjadi bukti perenungan akan kematian, menjadi bukti akan adanya raga yang tertebus untuk kemerdekaan ini. Aku sempat kecewa meski tak ku tampakkan saat itu. Bagaimana mungkin, seorang pejabat daerah sebelum menaburkan bunga, dia mencari wartawan lebih dulu. Mereka harus difoto saat menaburkan bunga sambil berharap esoknya terbit dengan potretnya di pusara pahlawan.
Aku memang berjarak hanya dua meter dari pejabat itu. Dia memang mengenalkan. Aku tahu dalam hatinya, dia berpikir aku datang ditempat itu hanya untuk memotret mereka. Berniat tidak membuatnya kecewa aku tekan tombol on pada kameraku dan kuarahkan padanya. Mereka senang dan sambil lalu, diantara pejabat lainnya yang juga ikut ramai berfoto ria. Selintas, naluriku berujar mereka menjadikan pusara pahlawanku sekadar tuntutan agenda pemerintah. Inilah ruang yang harus aku buka sebagai bahan renungan bagi siapa saja, termasuk aku. Sebagaimana Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001) dalam bukunya The Elements of Journalism, salah satunya meminta memberi forum bagi publik untuk saling-kritik dan menemukan kompromi. (*)
0 komentar